Perubahan Iklim Dampaknya Kini dan Nanti

Gama Syahid
20 min readSep 2, 2019

Abstrak-Berdasarkan Laporan Kajian Ke-5 (Assessment Reports 5 atau AR5) Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), suhu bumi telah meningkat sekitar 0,8°C selama abad terakhir. Pada akhir tahun 2100, suhu global diperkirakan akan lebih tinggi 1.8–4°C dibandingkan rata-rata suhu pada 1980–1999. Jika dibandingkan periode pra-industri (1750), kenaikan suhu global ini setara dengan 2.5–4.7°C. Proses pemanasan global terutama disebabkan oleh masuknya energi panas ke lautan (kurang lebih 90% daritotal pemanasan), dan terdapat bukti bahwa laut terus menghangat selama periode ini. Sebagai negara kepulauan dengan pantai rendah dan terpanjang nomor dua di dunia, Indonesia rentan terhadap perubahan iklim. Sebagai negara tropis dengan luas hutan serta rawa-gambut yang signifkan, Indonesia memiliki potensi tinggi baik sebagai sumber emisi ( source) maupun sebagai sink. Oleh karena itu, sebagai negara peratifkasi Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Protokol Kyoto, Indonesia sangat berkepentingan. Peran serta masyarakat juga harus didukung oleh kebijakan publik oleh berbagai instansi pemerintah yang berhubungan dalam penanganan isu perubahan iklim. Pembahasan diperlukan juga untuk melihat peran berbagai institusi dan bagaimana koordinasi dan sinergi yang diharapkan. Manajemen kebijakan perubahan iklim pada tataran nasional dan internasional perlu dikenalkan kepada masyarakat sehingga dapat menjadi acuan untuk hal- hal yang selama ini sering dipertanyakan dan diberitakan di media masa. Pada akhirnya sosialisasi kepada masyarakat diperlukan untuk memahami peran insttusi yang memberikan pelayanan informasi perubahan iklim pada tngkat dasar. Informasi tersebut merupakan informasi utama yang menunjukkan apa benar perubahan iklim sudah terjadi di bumi Indonesia.Untuk itu, guna mengingatkan akan bahaya perubahan iklim. Artikel ini memberikan informasi-informasi seputar dampak perubahan iklim dalam hal fisik ataupun non-fisik.

Kata kunci — Perubahan iklim, dampak fisik, non-fisik, konvensi paris, perjanjian kyoto.

Uraian ilmiah mengenai perubahan iklim yang diakui secara resmi di tingkat internasional disusun oleh Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC). IPCC menyusun Laporan Kajian (Assessment Reports) yang komprehensif setiap lima tahun tentang dasar ilmiah, teknis dan aspeksosial-ekonomi, penyebabnya, potensi dampak dan strategi menghadapi perubahan iklim. IPCC juga menghasilkan Laporan Khusus yang mengkaji isu-isu tertentu dan Laporan Metodologi, yang memberikan panduan praktis untuk penghitungan gas rumah kaca.

Laporan IPCC menguraikan bukti-bukti bahwa perubahan iklim memang sudah terjadi. Suhu bumi meningkat sekitar 0,8°C selama abad terakhir. Tigadekade terakhir ini secara berturut-turut kondisinya lebih hangat daripada dekade sebelumnya. Berdasarkan skenario pemodelan, diperkirakan padaakhir 2100, suhu global akan lebih hangat 1.8–4°C dibandingkan ratarata suhu pada 1980 1999. Jika dibandingkan periode pra-industri (1750), kenaikan suhu global ini setara dengan 2.5–4.7°C. Proses pemanasan global terutama disebabkan oleh masuknya energi panas ke lautan (kurang lebih 90% dari total pemanasan), dan terdapat bukti bahwa laut terus menghangat selama periode ini.

Laporan IPCC menegaskan bahwa aktivitas manusia merupakan penyebab terjadinya perubahan iklim, terutama dalam 50 tahun terkahir. Pengaruh manusia (antropogenic caused) tampak dari meningkatnya emisi gas rumah kaca (karbon dioksida, metana, nitrogen oksida dan sejumlah gas industri) dari aktivitas manusia, yang tertinggi dalam sejarah dan belum pernah terjadi sebelumnya sejak 800.000 tahun yang lalu. Konsentrasi gas CO2 sekarang lebih tinggi 40% jika dibandingkan pada era pra-industri. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan. Bukti lebih lanjut tentang pengaruh aktivitas manusia juga dideteksi dari terjadinya pemanasan samudera, perubahan curah hujan, pencairan gletser dan tutupan es di kutub utara, serta terjadinya sejumlah iklim ekstrem di bumi.

Dengan demikian, ada sejumlah pilihan yang tersedia untuk mengurangi risiko dari perubahan iklim di masa depan dan mempersiapkan perubahan yang tidak dapat dihindari. Hal yang harus dilakukan adalah melakukan pengurangan secara substansial emisi gas rumah kaca dalam beberapa dekade mendatang, agar emisi rumah kaca global pada tahun 2050 bisa menjadi 40 sampai 70% lebih rendah dari tahun 2010, dan tingkat emisi mendekati nol atau di bawahnya pada tahun 2100.

.

A. Dampak Perubahan Iklim

Temuan IPCC membuktikan bahwa perubahan iklim telah berdampak pada ekosistem dan manusia di seluruh bagian benua dan samudera di dunia. Perubahan iklim dapat menimbulkan risiko besar bagi kesehatan manusia, keamanan pangan global, dan pembangunan ekonomi. Tindakan untuk mengurangi emisi sangat penting dan mendesak untuk dilakukan guna menghindari bahaya perubahan iklim. Adaptasi sangat penting untuk dilakukan guna menghadapi risiko perubahan iklim. Tingkatan adaptasi yang diperlukan bergantung pada keberhasilan kegiatan mitigasi.

Terjadinya peningkatan permukaan air laut akan berdampak pada masyarakat pesisir dan daerah dataran rendah di seluruh dunia dengan timbulnya fenomena banjir, erosi pantai dan perendaman, serta hilangnya pulau-pulau kecil. Perubahan iklim juga menyebabkan pergeseran rentang geografis serta pola migrasi spesies daratan dan laut. Beberapa spesies akan menghadapi kepunahan.

Perubahan iklim berdampak pada keamanan pangan global, dalam hal ini menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan secara global. Tanpa adanya upaya adaptasi, produksi tanaman utama (seperti gandum, beras, dan jagung) diproyeksikan turun. Perubahan iklim juga diproyeksikan meningkatkan kejadian perpindahan manusia (migrasi) dan memicu konflik, memicu guncangan ekonomi dan kemiskinan. Perubahan iklim juga akan memperburuk masalah kesehatan manusia dan menyebabkan gangguan kesehatan di berbagai wilayah, misalnya melalui peningkatan gelombang panas dan kebakaran. Dampak perubahan iklim diproyeksikan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menjadikan usaha pengurangan angka kemiskinan akan lebih sulit.

B. Konvensi Perubahan Iklim

Persoalan perubahan iklim dan dampaknya dirasakan semakin meningkat seiring dengan konsentrasi emisi gas rumah kaca di atmosfer yang terus meningkat. Berdasarkan hal tersebut, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992, menghasilkan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim ( United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC). Konvensi perubahan iklim bertujuan untuk menstabilisasi konsentrasi gasgas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim.

Konvensi Perubahan Iklim berkekuatan hukum sejak 21 Maret 1994, dimana negara-negara yang meratifkasi Konvensi dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu Negara Annex I dan Negara Non-Annex I. Negara Annex I adalah negara-negara penyumbang emisi GRK sejak revolusi industri. Sedangkan Negara Non-Annex I adalah negara-negara yang tidak termasuk dalam Annex I yang kontribusinya terhadap emisi GRK jauh lebih sedikit dan memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah.

Pemerintah Indonesia telah meratifkasi Konvensi Perubahan Iklim melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) dan termasuk dalam negara Non-Annex I. Dengan demikian Indonesia secara resmi terikat dengan kewajiban dan memiliki hak untuk memanfaatkan berbagai peluang dukungan yang ditawarkan UNFCCC atau Kerangka Kerja PBB dalam upaya mencapai tujuan konvensi tersebut..

C. Protokol Kyoto

Protokol Kyoto merupakan dasar bagi Negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca gabungan mereka paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008–2012. Komitmen yang mengikat secara hukum ini, bertujuan mengembalikan tendensi peningkatan emisi yang secara historis dimulai di negara-negara tersebut 150 tahun yang lalu. Protokol Kyoto menempatkan beban yang lebih berat untuk negara-negara maju, dengan berdasarkan pada prinsip common but differentiated responsibilities.

Protokol Kyoto mengatur mekanisme penurunan emisi GRK yang dilaksanakan negara-negara maju, yakni: (1) Implementasi Bersama ( Joint Implementation), (2) Perdagangan Emisi ( Emission Trading); dan (3) Mekanisme Pembangunan Bersih ( Clean Development Mechanism, CDM). Joint Implementation (JI) merupakan mekanisme penurunan emisi dimana negara-negara Annex I dapat mengalihkan pengurangan emisi melalui proyek bersama dengan tujuan mengurangi emisi GRK. Emission Trading (ET) merupakan mekanisme perdagangan emisi yang dilakukan antar negara industri, dimana negara industri yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat menjual kelebihan jatah emisinya ke negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Clean Development Mechanism (CDM) merupakan mekanisme penurunan emisi GRK dalam rangka kerja sama negara industri dengan negara berkembang. Mekanisme ini bertujuan agar negara Annex I dapat mencapai target pengurangan emisi melalui program pengurangan emisi GRK di negara berkembang.

D. Perjanjian Paris

Perjanjian Paris bertujuan untuk menahan peningkatan temperatur rata-rata global jauh di bawah 2°C di atas tingkat di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan temperatur ke 1,5°C di atas tingkat pra-industrialisasi. Selain itu, Perjanjian Paris diarahkan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim, menuju ketahanan iklim dan pembangunan rendah emisi, tanpa mengancam produksi pangan, dan menyiapkan skema pendanaan untuk menuju pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim.

E. Pengendalian Perubahan Iklim Sebagai Amanat Konstitusi

Islam Dalam konteks nasional, pengendalian perubahan iklim merupakan amanat konstitusi. Dalam diskusi internasional pun, ditegaskan bahwa upaya pengendalian perubahan iklim dilakukan dengan mempertimbangkan national circumstances (termasuk kondisi dan kapasitas Negara) dan keadaulatan (s overeignty) Negara. Negara memberikan arah dan berkewajiban memastikan agar pembangunan yang dibutuhkan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat tetap memperhatikan perlindungan aspek lingkungan dan sosial. Dengan adanya kesadaran akan ancaman dari dampak-dampak negatif perubahan iklim, semestinya pengendalian dan penanganan perubahan iklim bukan merupakan suatu beban bagi Negara, namun sudah menjadi suatu kebutuhan. Selain itu, adalah tidak benar apabila komitmen Negara dalam menurunkan tingkat emisi GRK dikatakan sebagai suatu dorongan, tekanan atau paksaan dari pihak luar (asing). Semua yang dilakukan adalah atas dasar sukarela ( voluntary), penuh rasa tanggung jawab, dan sesuai dengan kemampuan masing-masing Negara (sesuai dengan prinsip “ common but differentiated responsibilities — respected capabilities/CBDR-RC “).

F. Adaptasi Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan ancaman yang signifkan bagi kehidupan masyarakat dan pembangunan di Indonesia, yang akan berdampak pada ketersediaan kebutuhan dasar masyarakat, mencakup antara lain produksi dan distribusi pangan, ketersediaan air dan energi. Untuk menurunkan tingkat kerentanan terhadap dampak perubahan iklim, perlu dilakukan upaya untuk memperkuat kapasitas adaptasi secara menyeluruh dengan membangun ketahanan ekonomi, sosial, diversifkasi mata pencaharian masyarakat yang lebih tidak sensititif terhadap perubahan iklim, perbaikan tata ruang dan manajemen ekosistem. Sebagaimana yang dimandatkan dalam UU №32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, rencana perlindungan dan pengelolaan Lingkungan hidup harus memuat juga rencana aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Selain itu kajian tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi perubahan iklim merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam menyusun kajian lingkungan hidup strategis untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan yang berketahan iklim telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

Langkah-langkah antisipatif untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim perlu dikedepankan, sehingga pembangunan yang telah dan akan dilaksanakan dapat terjamin keberlanjutannya. Kegiatan adaptasi perubahan iklim di Indonesia dilaksanakan secara terintegrasi dengan program pembangunan, terutama pada sector dan wilayah yang teridentifkasi rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sesuai dengan yang termuat dalam dokumen INDC2015, kegiatan adaptasi akan menjadi prioritas pemerintah, yang meliputi sektor pertanian, air, ketahanan energi, kehutanan, kelautan dan perikanan, kesehatan, pelayanan publik dan infrastruktur serta sistem perkotaan. Indonesia juga berkomitmen mengembangkan kebijakan yang konvergen antara adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana.

Mekanisme untuk merevisi dan menyesuaikan program dan aksi adaptasi dibangun dengan memperhatikan perubahan tingkat kerentanan dan risiko perubahan iklim secara berkala. Garis besar rangkaian proses yang dilaksanakan dalam pengintegrasian upaya adaptasi perubahan iklim meliputi:

a. Penilaian kerentanan dan risiko bencana terkait iklim sampai ke tingkat desa untuk mengidentifkasi dan menentukan faktor yang berkontribusi terhadap tingkat kerentanan desa terhadap dampak keragaman dan perubahan iklim yang diikuti dengan kajian proyeksi perubahan iklim dan perubahan pola bencana masa depan. Kajian ini menjadi arahan bagi pihak dalam menetapkan prioritas lokasi pelaksanaan serta bentuk aksi adaptasi dan pengurangan risiko bencana terkait iklim sebagai dasar dalam penyusunan rencana adaptasi perubahan iklim yang terintegrasi dengan penanganan risiko bencana terkait iklim.

b. Dialog dan konsultasi dengan para pemangku kepentingan untuk merancang tindakan kolaboratif multi pihak yang diawali dengan penggalian dan pelacakan tindakan atau aksi yang telah atau sedang berjalan, baik yang dilakukan oleh masyarakat setempat atau berbagai pihak serta mengkaji keterkaitannya dengan pilihan aksi adaptasi prioritas.

c. Pengembangan dukungan terhadap inisiatif yang dilakukan oleh masyarakat di tingkat lokal, dan mengintegrasikan berbagai aksi tersebut dengan program/kegiatan pemerintah dan berbagai pihak lain serta mengembangkan program/kegiatan berbasis ekosistem dan kawasan sesuai prioritas yang disepakati dengan melibatkan partisipasi aktif seluruh pihak termasuk masyarakat

d. Memasukkan program/kegiatan berbasis ekosistem dan kawasan kedalam kebijakan pembangunan dan rencana pembangunan daerah jangka menengah dan panjang serta mengembangkan sistem koordinasi dan sinergi aksi adaptasi perubahan iklim kedalam berbagai program yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun pihakpihak lain.

e. Melakukan pemantauan dengan mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi yang dapat diakses secara terbuka dan on-line, sehingga kemajuan yang dicapai atau efektivitas program pembangunan dalam mengurangi tingkat kerentanan dan risiko lebih terukur)

G. Dampak Perubahan Iklim

1) Dampak Fisik

Secara fsik, dampak perubahan iklim di Indonesia telah dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Anomali iklim dan musim pada tahun 2010 adalah salah satu contohnya. Sepanjang tahun itu, hujan terus mengguyur seluruh wilayah Indonesia sekalipun daerah tersebut mengalami musim kemarau. Dampak perubahan iklim telah menyebabkan terjadinya anomali dan iklim di Indonesia.

Di luar itu, dampak fsik lainnya adalah terjadi perubahan siklus air dan perluasan wilayah tropis, perubahan frekuensi kejadian ENSO, peningkatan kejadian puting beliung, kejadian iklim ekstrem, serta gelombang tnggi. Berikut ini penjelasan dari setap dampak tersebut.

a) Perubahan Siklus Air dan Perluasan Wilayah Tropis

Kondisi muka Bumi yang semakin panas menyebabkan terjadinya perubahan siklus air, baik di laut maupun atmosfer. Memanasnya muka laut di daerah tropis menyebabkan evaporasi meningkat. Bersamaan dengan itu, juga terjadi peningkatan volume air dalam pembentukan awan. Akibatnya, terjadi curah hujan dengan intensitas yang lebih tnggi.

Di sisi lain, semakin kuat penguapan, sirkulasi arus laut juga meningkat. Beberapa dampak dari proses ini adalah lapisan troposfer di daerah tropis akan meningkat, termasuk daerah dengan suhu di atas 0 oC naik menjadilebih tnggi.

Peningkatan penguapan yang tnggi akan menyebabkan daerah tropis menjadi jenuh. Akibatnya, wilayah tropis semakin meluas dan menciptakan wilayah tropis baru di daerah subtropis.

Konsekuensi logisnya, terjadi perubahan ketahanan dari berbagai komoditas pertanian khas tropis. Selain itu, hama dan penyakit tanaman yang selama ini hanya menyerang di daerah tropis akan menjalar ke daerah tropis yang baru terbentuk tersebut (subtropis).

Dampak lain dari percepatan dan peningkatan intensitas siklus air adalah adanya penguatan sumber fenomena cuaca. Artnya, daerah yang memiliki potensi basah akan semakin lebih basah. Sebaliknya, wilayah yang berpotensi kering akan menjadi lebih kering. Penguatan sumber fenomena cuaca ini berkaitan dengan meningkatnya besaran energi di atmosfer.

b) Anomali Iklim dan Musim

Dalam kondisi normal, Indonesia memiliki dua musim; hujan dan kemarau. Namun sepanjang tahun 2010, hampir seluruh kawasan Indonesia hanya mengalami musim hujan. Hal ini menyebabkan berbagai macam dampak, baik pada produksi pertanian, perkebunan, perikanan, transportasi, maupun gangguan pada beberapa jenis (spesies) hewan dan tumbuhan tertentu.

Dampak dari anomali iklim dan musim lainnya adalah penurunan produksi pertanian dan perkebunan. Pada tahun 2010 misalnya, ketka hujan terus mengguyur daerah perkebunan tebu berdampak pada penurunan produksi gula.

Hujan yang terlalu banyak itu selain menurunkan kadar rendemen gula pada tanaman tebu, juga menyulitkan petani memanen tebu. Maklum, truk-truk tak mampu melewat jalan-jalan tanah yang becek dan licin. Akibatnya, pabrik gula tak mampu menggiling tebu sesuai dengan kapasitasnya.

Musim hujan sepanjang tahun juga menyebabkan mundurnya musim tanam. Kondisi ini menjadi semakin buruk dengan adanya serangan OPT (organisme pengganggu tanaman) sehingga produksi padi menurun. Penurunan produksi tersebut sebenarnya juga sudah diketahui melalui angka ramalan (Aram) II; dibandingkan tahun 2009, produksi padi pada tahun 2010 mengalami penurunan.

c) Perubahan Frekuensi El Nino dan La Nina

El Nino diartkan sebagai fenomena di wilayah Samudra Pasifk ekuatorial yang ditandai dengan adanya perbedaan positf antara suhu muka laut atau sea surface temperature (SST) yang terpantau di wilayah Nino 3,4 dibandingkan periode normal.

El Nino diakibatkan oleh pindahnya kolam hangat ( warm pool) dari utara Irian ke Pasifk tengah akibat suhu di lapisan thermocline sudah melewat nilai krits. Perpindahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari tngginya perbedaan suhu di daerah warm pool dengan di Pasifk tengah.

Berdasarkan hukum mekanika fluida, hal itu akan menyebabkan perpindahan aliran warm pool menuju ke Pasifk tengah dengan pusat di kedalaman thermocline. Sementara itu, La Nina merupakan kondisi kebalikan dari El Nino atau fase dingin dari ENSO atau El Nino Southern Oscillaton (NOAA News Online, 23 Februari 2005).

Dengan demikian, kolam hangat menjadi lebih hangat, potensi mencapai suhu krits lebih tnggi dan lebih mudah pindah ke Pasifk tengah. Berdasarkan pengetahuan ini kita dapat memperkirakan bahwa pemanasan global akan menimbulkan frekuensi kejadian El Nino meningkat lantaran proses penumpukan panas akan semakin cepat (lihat Gambar dibawah).

Gambar 1 Peiningkatan intensitas El Nino berdasarkan pada indeks suhu muka laut wilayah Nino 3 dari tahun 1950–2019

d) Kebakaran hutan

Meningkatnya kekeringan memicu kasus kebakaran hutan meskipun hampir seluruh kasus kebakaran hutan lebih disebabkan oleh faktor manusia. Kebakaran hutan meningkat tajam apabila terjadi tidak ada hujan dalam seminggu.

Pada tahun-tahun terjadinya El Nino, kasus kebakaran lahan dan hutan juga meningkat tajam. Sebaliknya, pada tahun-tahun La Nina atau kemarau basah, kebakaran hutan menurun.

Jumlah titik api ( hot spot) di Pulau Kalimantan dan Sumatera berkorelasi kuat dengan tngkat intensitas El Nino yang terjadi di Samudra Pasifk yang diwakili oleh suhu muka laut di wilayah Nino3 (lihat Gambar 7.4). Besaran korelasi meningkat pada paruh setengah tahun kedua antara bulan Juli dan Desember.

e) Meningkatnya kejadian puting beliung

Konsep Pemanasan global akan meningkatkan temperatur permukaan sehingga menimbulkan kenaikan perbedaan tekanan udara antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kondisi ini dapat memicu kenaikan frekuensi kejadian angin puting beliung. Sepert diketahui, angin merupakan salah satu unsur iklim yang dikendalikan oleh radiasi Matahari, perbedaan topografi, dan perbedaan tekanan udara.

2) Dampak Nonfisik

a) Kesehatan

  • Kedua, Kasus demam berdarah (DBD) dan malaria meningkat. Peningkatan ini disebabkan oleh naiknya suhu daratan pada masa transisi antar musim. Anomali iklim pada tahun 2010 mengakibatkan sepanjang tahun terjadi kemarau basah dengan diselingi hari hujan. Pada saat yang sama, saluran-saluran air banyak yang mampet sehingga air buangan tdak dapat mengalir. Kondisi ini sangat nyaman bagi pertumbuhan nyamuk sebagai vector borne untuk DBD sehingga penderita demam berdarah meningkat. Kasus ini meningkat lebih tnggi pada masa peralihan dari musim hujan ke kemarau dibandingkan masa peralihan dari musim kemarau ke hujan. Hal ini dikarenakan pada masa peralihan pertama masih banyak hujan atau sisa aliran air permukaan. Sementara itu, pada masa peralihan kedua, suhu di daratan lebih tnggi dari biasanya.
  • Ancaman diare sepanjang tahun. Masih di tahun 2010, perubahan musim sepert berlebihnya aliran air di permukaan mengancam penyebaran penyakit menular melalui air. Musim hujan yang berkepanjangan tersebut menyebabkan terjadinya epidemi diare sepanjang tahun.
  • Peningkatan kasus kebakaran hutan akibat kekeringan yang berlanjut akan mengakibatkan penyakit pernapasan sepert Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Pada musim kemarau, aliran udara bergerak secara horisontal dan tdak ada daya angkat sepert pada musim penghujan. Akibatnya, debu partkulat dari asap kebakaran hutan tersebut menumpuk di permukaan dan menimbulkan kepekatan sehingga rawan terhadap penyakit ISPA.

b) Infrastruktur

  • Kerusakan infrastruktur terkait erat dengan perubahan curah hujan terutama peningkatan cuaca ekstrem. Struktur bangunan, terutama kapasitas dan daya maksimum beban, bisa terkena dampak ketka limpahan curah hujannya sangat tnggi. Perubahan pola tersebut akan banyak mempengaruhi kekuatan struktur dalam jangka panjang. Kerusakan yang terjadi seringkali tdak terasa dalam jangka pendek tetapi lambat laun akan terasa nyata. Salah satu akibat curah hujan ekstrem yang berpengaruh pada infrastruktur adalah badai dan banjir. Kelebihan curah hujan di hulu dapat merusak kapasitas tampung reservoir air untuk PLTA sehingga seringkali melimpas menjadi aliran buangan yang kurang bermanfaat. Selain itu, curah hujan yang tnggi dapat menimbulkan pendangkalan di waduk sebagai akibat dari banyaknya erosi yang dibawa air hujan tadi. Kebijakan pembuangan limpasan air dan pengerukan sedimen lumpur perlu diambil sebagai solusi antsipasi agar kapasitas struktur bangunan waduk tdak mengalami kerusakan secara permanen.
  • Peningkatan suhu ekstrem dapat mempengaruhi tngginya paras muka air laut yang lambat laun akan mempengaruhi infrastruktur di wilayah pesisir. Tambak-tambak ikan dan udang di daerah pesisir misalnya, akan tergenang air akibat tngginya kenaikan muka air laut.

c) Energi

  • Penurunan intensitas curah hujan pada musim kemarau dan peningkatan kekeringan akan menyebabkan pasokan air berkurang dan mempengaruhi ketersediaan air terutama pada pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Penurunan curah hujan akan berdampak langsung pada penurunan debit aliran permukaan. Diperlukan antsipasi yang jauh lebih dini guna peringatan iklim ekstrem dan manajemen sumber daya energi yang lebih baik untuk pengelolaan reservoir air (danau dan waduk) terutama untuk keperluan pembangkit energi.Peningkatan suhu di pesisir akan mempersulit proses pendinginan pembangkit listrik yang sedianya memanfaatkan air laut sebagai pendingin alamiah. Diperlukan upaya adaptasi berupa pengambilan air pendingin pada kedalaman laut yang lebih dalam dibandingkan biasanya. Atau cara lain, perlu dilakukan penyesuaian dalam proses pendinginannya.

d) Sumber daya air

  • Perubahan pola curah hujan dapat berdampak pada berkurangnya ketersediaan air di permukaan dan penurunan kualitas air akibat pekatnya kandungan polutan di air permukaan yang menurun kuanttasnya. Permasalahan sumber daya air menyangkut aliran air di permukaan dan aliran air di bawah tanah. Permasalahan utama sumber daya air di Indonesia adalah tdak meratanya distribusi musiman dari air yang tersedia. Dengan jumlah curah hujan sekitar 2.300 mm per tahun sebenarnya Pulau Jawa memiliki kelebihan sumber daya air, tetapi sekitar 80% air yang tercurah tersebut jatuh pada musim hujan. Sisanya yang 20 % tercurah pada musim kemarau. Dalam hal ini diperlukan manajemen sumber daya air yang mengacu pada prediksi iklim yang jitu untuk mendukung ketersediaan sumber daya air yang memadai sepanjang tahun.

e) Pertanian

  • Argumentasi Perubahan pola angin dapat menyebabkan penyebaran hama, terganggunya penyerbukan dan pembuahan.
  • Perubahan pola hujan, khususnya kekeringan dan banjir, dapat menyebabkan kegagalan pembuahan dan penyerbukan.
  • Perubahan kelembaban dapat menyebabkan peningkatan OPT.
  • Peningkatan tnggi muka laut dapat menyebabkan masuknya air asin ke areal persawahan di wilayah pesisir.

f) Kelautan dan Perikanan

  • Pergeseran musim dapat menyebabkan terjadinya perubahan waktu dan jenis tangkapan ikan.
  • Perubahan suhu muka laut dapat menyebabkan perubahan lokasi tangkapan, perpindahan lokasi ikan, serta pengurangan jenis dan jumlah ikan.
  • Perubahan pola angin dan gelombang tnggi dapat menyebabkan nelayan gagal melaut. Selain itu, perubahan tersebut juga dapat mengakibatkan terjadinya pengadukan di waduk, tambak, dan keramba jaring apung sehingga turbiditas meningkat.
  • Perubahan pola hujan, fenomena banjir, dan kekeringan dapat mempengaruhi pola budi daya petani tambak.
  • Perubahan frekuensi El Nino dapat menyebabkan peningkatan hasil tangkapan (tuna) dan peningkatan produksi garam. Sebaliknya, pada saatLa Nina dan kemarau basah dapat menyebabkan produksi garam turun dan hasil penangkapan tuna jauh berkurang.
  • Perubahan kelembaban udara dapat menyebabkan peningkatan keasinan air tambak dan mempengaruhi pola budi daya.
  • Peningkatan tnggi muka laut dapat menyebabkan peningkatan terjadinya erosi tebing pantai, serta tenggelamnya pulau dan tambak

g) Wisata

  • Perubahan suhu muka Bumi menyebabkan terjadinya pemutihan (bleaching) terumbu karang yang merupakan kerusakan objek wisata bahari. Pemutihan terumbu karang tersebut lebih disebabkan oleh perubahan suhu yang mendadak, baik peningkatan akibat pemanasan global maupun tahun-tahunEl Nino. Padahal untuk memulihkan terumbu karang sepert kondisi semula dibutuhkan waktu yang sangat lama, dapat mencapai ratusan tahun.
  • Akibat suhu meningkat dan perubahan pola musim, beberapa jenis flora dan fauna terancam punah. Padahal flora dan fauna tersebut selama ini menjadi pesona wisata Indonesia
  • Kenaikan muka laut dapat menyebabkan terjadinya banjir atau rob di wilayah pesisir yang dapat pula merusak infrastruktur wisata seperti akses jalan, fasilitas rekreasi, dan lain-lain
  • Peningkatan iklim ekstrem di laut, darat, dan udara dapat menyebabkan terganggunya transportasi wisata yang pada akhirnya dapat mengurangi minat wisatawan untuk berkunjung atau dapat mempersingkat waktu kunjungan
  • Industri wisata menyukai suasana cerah sinar Matahari. Jadi, jika iklim kemarau basah terus terjadi dan sinar Matahari berkurang, prakts dapat menurunkan daya tarik bagi para wisatawan.

h) Kehutanan

  • Peningkatan suhu dan perubahan pola hujan, sepert kemarau panjang, dapat menyebabkan peningkatan risiko kebakaran hutan dan lahan serta mengancam ketersediaan air
  • Perubahan biodiversitas dapat terjadi dikarenakan perubahan suhu dan pola curah hujan akibat iklim ekstrem. Di lain pihak, terjadinya kemarau basah dapat menguntungkan karena dapat mempercepat penghijauan di sektor kehutanan.

i) Transportasi

  • konsep Peningkatan curah hujan ekstrem dan perubahan pola angin dapat menyebabkan terganggunya transportasi baik di darat, laut, maupun udara. Bahkan iklim dan cuaca ekstrem seringkali menjadi biang terjadinya berbagai kecelakaan. Transportasi darat misalnya, terganggu dan bahkan menimbulkan kecelakaan serius ketka curah hujan tnggi yang diikut tanah longsor. Tanah longsor itu menimbun jalan raya dan mengubur kendaraan yang melintas. Di laut, akibat gelombang tnggi, menimbulkan gangguan pada kapal penumpang dan barang yang sedang berlayar. Begitu juga di udara, akibat adanya hempasan angin samping, angin lereng, dan pertumbuhan awan konvektif, laju pesawat terbang menjadi kurang nyaman.

H. Kerjasama Internasional dalam Mengantisipasi Perubahan Iklim

Budaya Kerjasama Internasional dalam Mengantisipasi Perubahan Iklim Indonesia memiliki karakteristik geografis dan geologis yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Sesuai dengan Konvensi Perubahan Iklim (Pasal 4 Butir 8, 9 dan 10), negara yang memiliki karakteristik-karakteristik tersebut perlu mendapatkan bantuan pendanaan, insurance dan alih teknologi untuk memenuhi kebutuhan negara yang bersangkutan dalam mengantisipasi dampak negatif perubahan iklim. Selain itu, Indonesia termasuk dalam negara berpendapatan menengah kelompok rendah; sehingga memerlukan dukungan internasional dalam mengantisipasi perubahan iklim.

Berdasarkan kondisi di atas dan mengacu pada prinsip common but differentiated responsibility, Indonesia akan berperan aktif dalam upaya pengendalian dampak perubahan iklim secara global menurut porsinya sebagai Negara Non-Annex-I dan mendorong negara maju untuk memimpin upaya penurunan emisi GRK. Dukungan dunia internasional akan sangat berperan dalam pencapaian target rencana aksi nasional ini.

1) Usulan kerjasama Internasional

Kebutuhan Indonesia dalam hal alih teknologi dan dukungan lain guna mengurangi emisi GRK serta melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim adalah sebagai berikut:

2) Mitigasi

  • Sektor industri padat energi (semen, pulp and paper, keramik, pupuk, minyak goreng, gula rafinasi, tekstil, dan besi dan baja)
  • Manajemen lingkungan dan audit lingkungan pada proses industri dan peralatan industri (penggantian chiller, boiler dan furnace).
  • Sektor agro industri (pengolahan tapioka dan kelapa sawit),
  • Pemanfaatan limbah (pertanian, peternakan, dan limbah kota)
  • Pembangkitan listrik (low pollution coal-burning dalam teknologi pembangkit listrik, energi baru terbarukan: energi surya, energi angin, energi gelombang, dan carbon capture and storage — CCS)
  • Sektor transportasi (penggantian bahan bakar, teknologi kendaraan rendah emisi, teknologi transportasi hemat energi)
  • Sektor minyak dan gas (carbon capture and storage — CCS dan gas flare)
  • Sektor LULUCF (teknologi untuk pengendalian kebakaran hutan, teknologi penetapan karakteristik lahan gambut untuk pemanfaatan lahan gambut secara berkelanjutan, program terintegrasi dalam penanaman pohon dan pengentasan kemiskinan melalui program MIH)

3) Adaptasi

  • Pengembangan teknologi dan sistem kelembagaan yang mampu memanfaatkan informasi iklim (termasuk prakiraaan) secara efektif untuk mengelola resiko iklim saat ini dan mendatang.
  • Sektor pertanian (intensifikasi pertanian, spray and drip irrigation technology untuk penghematan air) dan perikanan (breeding technology)
  • Sektor sumber daya air, mencakup antara lain: i) Sistem peringatan dini hujan dan banjir, ii) pengelolaan waduk berbasis weather forecasting, iii) pengelolaan kekeringan berbasis citra satelit, iv) peningkatan kapasitas di bidang hydro climatology, dan v) peningkatan kapasitas di bidang peningkatan efisiensi penggunaan air.
  • Sektor industri (penghematan energi, teknologi penghematan air).
  • Sektor teknologi prediksi cuaca dan pre-warning terhadap iklim ekstrim, teknologi permodelan.
  • Sektor kesehatan (R&D untuk pencegahan penyakit tropis, identifikasi jenis penyakit akibat perubahan iklim, dan upaya pengobatan dengan fitopharmacy).

4) Peningkatan Kapasitas

Dalam rangka mengantisipasi dampak perubahan iklim maka diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintah pusat dan daerah, lembaga legislatif, masyarakat dan sektor privat. Hal ini dapat dilakukan melalui program pendidikan dan sosialisasi antisipasi perubahan iklim kepada para pemangku kepentingan di atas.

5) Positif Insentif untuk menjaga kelestarian hutan (REDD)

Untuk mempercepat upaya rehabilitasi lahan terdegradasi seluas 53,9 juta ha diperlukan kerjasama internasional melalui program aforestasi dan reforestasi. Berdasarkan evaluasi program MIH terhadap luasan hutan total seluas 120 juta ha, terdapat beberapa kabupaten di Papua dan Papua Barat, Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat yang kondisi hutannya masih baik sebagai penyerap karbon ( carbon sink). Untuk itu diperlukan insentif positif guna mencegah terjadinya kerusakan hutan di daerah-daerah tersebut. Insentif positif tersebut dihitung berdasarkan carbon stock dan atau carbon flow dan opportunity cost sebagai kompensasi devisa Negara yang mungkin masuk dari pembukaan hutan yang dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan kajian “Pendanaan Kawasan Konservasi di Indonesia”, anggaran yang tersedia dari semua sumber untuk implementasi Deklarasi Heart of Borneo adalah US$ 53,37 juta, sedangkan kebutuhan dana optimal adalah sebesar US$ 135,51 juta. Untuk menutupi kekurangan dana sebesar US$ 81,94 juta tersebut diperlukan bantuan pendanaan dari kerjasama bilateral dan multilateral.

Bukti nyata perubahan iklim telah dijelaskan secara ilmiah dan diramu dalam Fifth Assessment Report (AR-5) yang menekankan kembali bahaya peningkatan konsentrasi CO2, CH4, dan N2O akibat emisi pembakaran fosil fuel dan perubahan tutupan lahan terhadap keberlanjutan pembangunan dan kelangsungan makhluk hidup. Lalu, perubahan iklim memang sudah terjadi, baik dalam skala global maupun lokal. Faktanya, berbagai indikator dari dampak perubahan iklim sudah terasa sejak beberapa puluh tahun silam. Hanya saja, akhir-akhir ini laju perubahan iklim semakin cepat sehingga berdampak luas ke berbagai aspek kehidupan umat manusia. Masyarakat di berbagai penjuru dunia pun mulai memberikan respon. Perubahan iklim tidak lagi sebagai isu, tetapi telah menjadi kenyataan yang memerlukan tindakan nyata secara bersama pada tingkat global, regional maupun nasional. Dengan telah disepakati dan ditandatanganinya dokumen Perjanjian Paris, diperlukan penterjemahan dan penjabaran lebih lanjut ke dalam konteks nasional.

Daftar Pustaka

Adam, J, 2002: Global land environments since the last interglacial, (htp:// www.esd.ornl.gov/projects/qen/nerc.html)

Aldrian, E., Meteorologi Laut Indonesia, 2008, ISBN 978–979–1241–19–9, Puslitbang BMG

Aldrian, E., R. D. Susanto, 2003, Identfcaton of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relatonship to sea surface temperature, Internatonal Journal of Climatology, 23, 1435–1452.

BAPPENAS. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menenegah Nasional Tahun 2014–2019. Jakarta

Batgne, S., Josee B., & Nathalie F. 2008. Pustaka Anak Cerdas. PT Bhuana Ilmu Populer.

Blog: Skeptc’s Play, 2007: Axial Tilt: The Reason for the Season, (htp:// skeptcsplay.blogspot.com/2007/12/axial-tlt-reason-for-season.html)

Boer, R., Sutardi, Hilman, D., 2007, Indonesia Country Report: Climate Variability and climate changes, and their implicaton. Ministry of Environment, 68pp. ISBN 878–878–8362–82–1

Boer, R., Perdinan, Faqih, A., Amanah, S., Rakhman, A., 2015. Kerentanan Dan Pengelolaan Risiko Iklim Pada Sektor Pertanian, Sumberdaya Air & Sumber Kehidupan Masyarakat Nusa Tenggara Timur. UNDP-SPARC Project. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta

Clouds Types: htp://eo.ucar.edu/webweather/cloud3.html

Diposaptono, S., Budiman, & Firdaus Agung. 2009. Menyiasat Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penerbit Buku Ilmiah Populer, PT Sarana Komunikasi Utama. Bogor.

Directorate General of Climate Change Ministry of Environment and Forestry Republic of Indonesia, 2015. Indonesia Biennial Update Report (BUR) under The United Nations Framework Convention on Climate Change.

Hendiart N., Suwarso, E. Aldrian, R. A Ambarini, S. I. Sachoemar, I. B. Wahyono, K. Amri, 2005, Seasonal Variaton of Coastal Processes and Pelagic Fish Catch around the Java, Oceanography, 18, No 4, 112–123.

Hendon, H. H., 2003, Indonesian rainfall variability: Impacts of ENSO and local air sea interacton, J. Clim., 16, 1775–1790.

Hoegh-Guldberg, O. 1999, Coral bleaching, Climate Change and the future of the world’s Coral Reefs. Review, Marine and Freshwater Research, 50:839–866.

Holland, G.J. 1993, “ Ready Reckoner” — Chapter 9, Global Guide to Tropical Cyclone Forecastng, WMO/TC-№560, Report No. TCP-31, World Meteorological Organizaton; Geneva, Switzerland.

IPCC, 2007: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contributon of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M.Tignor and H.L. Miller (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.

IPCC, 2013: Climate Change 2013: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovenrmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA, 1535 pp.

Kementrian Lingkungan Hidup, Rencana Aksi Nasional dalam menghadapi Perubahan Iklim (Natonal acton Plan to coupe Climate Change, 2007, 108pp.

Modul Perubahan Iklim untuk Penyuluh sektor Pertanian. 2011. Modul Perubahan Iklim untuk Penyuluh Sektor Kelautan dan Perikanan. 2011.

MoEF, 2015. Intended Nationally Determined Contribution Republic of Indonesia. Submission to UNFCCC Secretariat.

Pett, J. R, et al, 1999: Climate and atmospheric history of the past 420,000 years from the Vostok ice core, Antarctca, Nature 399, 429–436 (htp://en.wikipedia.org/wiki/Climate_change#Physical_evidence_for_and_examples_of_climatc_change)

Philander S.G.H. 1983, El Niño southern oscillaton phenomena. Nature, 302, 295–301.

Philander, S. G. H., 1990, El Niño, La Niña and the Southern Oscillaton. Academic Press, San Diego, 293 pp.

Tutorial on Earth/Suns Relatons and Seasons (htp://daphne.palomar.edu/ jthorngren/tutorial.htm)

U.S. Global Change Research Program (www.globalchange.gov)."

MoEF, 2015. National Forest Reference Emission Level for Deforestation and Forest Degradation: In the Context of Decision 1/CP.16 para 70

UNFCCC (Encourages developing country parties to contribute to mitigation actions in the forest sector). Directorate General of Climate Change.

United Nation Framework Convention on Climate Change, 2015. Adoption of the Paris Agreement. FCCC/CP/2015/L.9/Rev.1

Originally published at http://gooroe.com.

--

--

Gama Syahid

Stay inquisitive. — Discovering universe through reading, thinking, expertising engineering, and writing.