Konsep Kepemimpinan Era 21st Century

Gama Syahid
10 min readOct 2, 2019

--

Kinerja organisasi yang tinggi dapat dicapai jika setiap elemen dalam organisasi terintegrasi dengan baik dan mampu menjalankan perannya. Dalam penelitian ini, elemen mengacu pada variabel kepemimpinan. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa kepemimpinan dan motivasi kerja berpengaruh signifikan, baik secara parsial maupun simultan, terhadap kinerja karyawan. Ini berarti bahwa jika implementasi kepemimpinan organisasi dan motivasi kerja lebih baik, maka pencapaian kinerja organisasi akan lebih optimal.

Maju mundurnya suatu perusahaan/organisasi akan bergantung pada kepemimpinannya dalam mengelola organisasi, karena loyalitas dan disiplin karyawan akan memberikan dukungan terhadap pemimpin yang bertanggung jawab dan berdedikasi tinggi (Gibson, et. al : 2000 : 334). Selain itu, pemimpin sebagai orang yang memiliki kemampuan, kompetensi, distribusi kekuasaan, serta melibatkan pihak lain, memberikan peranan besar bagi kelangsungan hidup organisasi dengan mengimplementasikan budaya organisasi yang diseimbangkan dengan nilai-nilai anggota sebagai perekat sosial bagi seluruh anggota organisasi (Alban & Metcalfe : 2000 : 280–296).

Hal ini selaras dengan tujuan pendidikan abad 21 yang setidaknya harus memenuhi tiga komponen utama yaitu: (1) karakter; (2) kompetensi 4K yaitu berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif; (3) literasi yang terdiri dari literasi baca, literasi budaya, literasi keuangan, dan literasi teknologi. Salah satu cara untuk bisa menerapkan komponen tujuan pendidikan abad 21 dengan tepat dibutuhkan pemimpin yang tepat. Pemimpin harus mampu melakukan pengembangan terhadap pendekatan dan penerapan inovasi, agar dapat menghasilkan produk, proses dan praktik yang inovatif (Winardi, 2008). Kepemimpinan sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi, memotivasi, dan membangkitkan semua pengikutnya di dalam organisasi untuk senantiasa melakasanakan berbagai tanggung jawab dan tugasnya tanpa suatu paksaan apapun (Mardalis & Setiawan, 2015).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk melakukan analisis dokumen serta studi kasus untuk melakukan catatan lapangan, study literature, wawancara, dan dokumentasi. Peneliti memilih pendekatan kualitatif ini karena berangkat dari fenomena atau kejadian yang nyata dan ingin dikaji oleh peneliti yaitu suatu organisasi x dengan bawahannya memiliki kedekatan yang sangat erat yang berorientasi pada paradigma pendidikan abad 21. Proses penganalisisan data mengikuti siklus interaktif penelitian kualitatif menurut Miles and Huberman yaitu data collection, data reduction, data display, dan conclusion drawing and verifying.

Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan salah satu fenomena yang paling mudah diobservasi, tetapi paling sulit untuk dipahami (Daft : 1998 : 309). Sebagai faktor penting yang menggerakkan, mengarahkan, dan mengkordinasikan berbagai faktor lainnya dalam organisasi, kepemimpinan telah didefinisikan dalam kaitannya dengan ciri-ciri individual, perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola -pola interaksi, hubungan peran, tempatnya pada suatu posisi administratif serta persepsi orang lain mengenai keabsahan dari pengaruh (Yuk l : 2001 : 5).

Konsep Kepemimpinan

Coad & Anthony (1998:164–172) mengutip berbagai pendapat ahli, menjelaskan bahwa pada awal perkembangannya, kepemimpinan berpusat pada ciri pemimpin, kemudian mengalami pergeseran dengan penekanan ke arah berpikir tentang keikutsertaan para pengikut di dalam kepemimpinan, dengan memberikan pengaruh timbal balik untuk mencapai tujuan bersama.

Dari berbagai sudut pandang komprehensif, beberapa ahli membagi teori kepemimpinan dalam berbagai perspektif, seperti dijelaskan berikut ini :

  • Schermerhorn (1999) membagi teori kepemimpinan pada empat kategori yaitu Teori sifat, Teori Perilaku, Teori Kontingensi, dan Teori-teori baru.
  • Weidden (2000) membagi teori kepemimpinan pada empat perspektif, yaitu pendekatan sifat, perilaku, kekuatan-pengaruh, serta pendekatan situasional.
  • Kreitner & Kinicki (2005 : 302) membagi teori kepemimpinan dalam lima bagian, yaitu : (a) Pendekatan sifat, (b) Pendekatan perilaku meliputi Teori X-Y Mc Gregor, Study Ohio, Study Michigan, dan Managerial Grid Blake-Mouton © Pendekatan situasi yang meliputi Model kontingensi Friedler, Teori Path-goal, serta Teori Situasional Hersey-Blanchard, (d) Kepemimpinan Transaksional dan Kharismatik, (e) Pendekatan Tambahan yang meliputi kepemimpinan LMX, Kepemimpinan subtitusi, Kepemimpinan pelayan dan Kepemimpinan Super.

Teori Sifat (Trait Theories)

Pemahaman awal tentang kepemimpinan terfokus pada karakteristik sifat yang lebih unggul yang membedakan dia dari pengikutnya. Menurut teori ini, hanya individu yang memiliki sifat-sifat tertentulah yang bisa menjadi seorang pemimpin, seperti dalam Tabel dibawah

Teori Perilaku

Teori ini bertolak pada pemikiran bahwa kepemimpinan dalam mengefektifkan organisasi bergantung pada perilaku atau gaya bertindak seorang pemimpin. Beberapa teori kepemimpinan yang tergolong dalam teori perilaku ini dijelaskan berikut ini:

Teori ini dipaparkan oleh Mc Gregor, yang banyak dihubungkan dengan teori motivasi. Teori X berasumsi bahwa manusia pada hakekatnya memiliki perilaku malas, penakut dan tidak bertanggung jawab sehingga gaya kepemimpinan yang efektif untuk keadaan ini adalah cenderung otoriter. Sebaliknya teori Y berasumsi bahwa pada dasarnya manusia memiliki perilaku bertanggung jawab, motivasi kerja, kreatif dan inisiatif, sehingga gaya kepemimpinan yang tepat untuk keadaan ini adalah demokratis.

Para peneliti menyimpulkan bahwa terdapat dua dimensi bebas perilaku pemimpin, yaitu pertimbangan dalam hal ini sejauh mana seseorang berkemungkinan memiliki hubungan pekerjaan yang dicirikan oleh saling percaya, menghargai gagasan bawahan dan memperhatikan perasaan merdeka; dan menginisiasi struktur mengacu pada sejauh mana seorang pemimpin menetapkan dan menstruktur perannya dan peran para bawahannya dalam mengusahakan tercapainya tujuan. (Daft, 1998).

Penelitian ini menyebutkan dua dimensi perilaku kepemimpinan yaitu berorientasi karyawan ( employee centered) yang menekankan hubungan antar pribadi dan berorientasi tugas ( job centered) yang cenderung menekankan aspek teknis atau tugas dari pekerjaan.

Managerial grid merupakan pandangan grafis dari dua dimensi terhadap perilaku pemimpin yang berdasarkan pada kepedulian akan karyawan dan kepedulian akan produksi.

Teori Situasional/Kontingensi

Pendekatan kepemimpinan yang menyatakan bahwa pemimpin memahami perilaku, sifat, dan situasi bawahannya sebelum menggunakan suatu gaya kepemimpinan tertentu yang mensyaratkan pemimpin untuk memiliki keterampilan diagnostik dalam perilaku manusia. Beberapa model kepemimpinan yang tergolong dalam teori ini adalah Model kontingensi Fiedler, Path Goal Theory, Teori situasional Hersey dan Blanchard.

Pokok teori Fiedler berfokus pada apakah seorang pemimpin menekankan pada gaya orientasi-hubungan di mana pemimpin menekankan pada terciptanya kepercayaan dan penghormatan timbal balik, atau gaya orientasi-tugas di mana pemimpin menekankan pada penyelesaian tugas dan pencapaian prestasi tertinggi dari karyawannya ( Kreitner & Kinicki : 2005 : 315–316).

Teori ini dikembangkan oleh House yang menekankan pada tanggung jawab pemimpin dalam meningkatkan motivasi kerja karyawannya, agar tujuan personal dan organisasi dapat tercapai. Teori ini mengidentifikasi empat gaya kepemimpinan, yaitu: Directive Leadership, Supportive, Partisipative Leadership, Achievement Oriented Leadership

Menurut teori ini, perilaku pemimpin yang efektif bergantung pada tingkat kesiapan dari pengikut pemimpin, yang didefinisikan sebagai tingkat di mana para pengikut memiliki kemampuan dan kemauan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Teori ini menjelaskan empat perilaku pemimpin yang spesifik yaitu Telling, Selling, Participating, Delegating.

Teori Kepemimpinan Transaksional

Kunci kepemimpinan transaksional adalah pertukaran antara atasan dan bawahan, yang hubungannya saling menguntungkan dan kontribusi dari tiap sisi dipahami dan diberikan penghargaan (Humphreys et. Al : 2003). Di dalam kepemimpinan transaksional ini, pengaruh pemimpin didasarkan pada adanya keinginan kuat bawahan untuk mengikuti pemimpin. Perilaku transaksional meliputi tiga hal utama, yang meliputi (Barbuto & Brown : 2005):

Pemimpin tidak memperhatikan berbagai pengawasan tugas dan tidak memberikan bimbingan kepada para bawahan secara penuh.

Para bawahan diberikan penghargaan ataupun hukuman untuk suatu tindakan yang dilakukan serta untuk beberapa keadaan tertentu, sangat dibutuhkan intervensi dari pemimpin karena kurangnya kemampuan karyawan untuk menyelesaikan berbagai persoalan.

Adanya partisipasi pengikut dan para pemimpin yang mengambil bagian dalam suatu pendekatan kontingensi ke manajemen (Howell & Avolio, 1993). Masingmasing pihak setuju dengan sistem dari pekerjaan dan penghargaan untuk menemukan harapan timbal balik bagi perilaku atau prestasi tertentu (Seltzer & Bass, 1990).Teori

Kepemimpinan Kharismatik

Kepemimpinan kharismatik lebih menekankan pada perilaku pemimpin sebagai simbol, komunikasi non-verbal, visi dan inspirasi, memperlihatkan kepercayaan diri, dan harapan pemimpin pada pengorbanan diri pengikutnya untuk mencapai hasil kerja yang diinginkan. Kepemimpinan kharismatik dapat menghasilkan perubahan organisasi yang signifikan utamanya pada pengikutnya, dengan menciptakan perubahan pada tujuan, nilai, kepercayaan dan aspirasi mereka (Kreitner & Kinicki: 2005 : 323–324). Hasil penelitian terhadap kepemimpinan ini menunjukan bahwa kepemimpinan ini berkorelasi secara signifikan pada kejujuran, usaha dan komitmen dari para pengikutnya. (Lowe et al., 1996).

Teori Kepemimpinan Transformasional

Model kepeminpinan transformasional mampu memberikan solusi dalam memahami tentang apa yang membuat leaders memiliki pengaruh besar terhadap followers-nya dan faktor-faktor apa yang membuat kinerja organisasi sukses berkelanjutan (Mc Shanne & Glinow : 2005) dengan mengembangkan dan mengkomunikasikan misi dengan pendekatan rasional, menggunakan strategi yang tidak konvensional, berkomunikasi dengan harapan dan kepercayaan yang tinggi, memberikan perhatian individual kepada para bawahan, serta menunjukkan pengorbanan diri yang nyata dan potensial. Dengan menghimbau pengikut terhadap minatnya sendiri maupun nilai-nilai yang mereka gunakan bersama, pemimpin transformasional dapat membantu pengikutnya untuk secara kolektif memaksimalkan kinerjanya, yang berdampak pada kinerja organisasi (Bass & Jung : 1999).

Selain itu, dalam argumentasi bahwa kepemimpinan transformasioal dipengaruhi oleh manajemen impression strategic, Gardner dan Cleavenger (1998) menggunakan terminologi Exemplification atau contoh sebagai salah satu strategi ini. Exemplification itu sendiri mencakup kualitas, seperti memberikan sikap pada yang lain dan kesediaan untuk menanggung risiko dan pengorbanan diri pribadi untuk kepentingan organisasi.

Berdasarkan penjelasan ini, Pounder (1999) menggabungkan hasil studi tersebut dengan dimensi kepemimpinan transformasional yang dikemukakan Bass & Avolio (1994). Selanjutnya dari hasil studi tersebut, Pounder memperkenalkan suatu konsep kepemimpinan baru yang dikembangkan dari konsep kepemimpinan transformasional seperti di bawah ini:

Pemimpin bertindak sebagai model bagi para pengikutnya, mengkomunikasikan visi dan misi dan menggunakan simbol-simbol untuk memfokuskan berbagai usaha. Dimensi ini merupakan ukuran kemampuan pemimpin untuk melahirkan suatu keyakinan dalam visi dan nilai-nilai pemimpin.

Pemimpin mengatur perbuatan dan kata-kata. Dimensi ini merupakan ukuran dimana pengikut merasakan suatu derajat kesamaan yang tinggi antara kata-kata yang diucapkan oleh pemimpin dengan perbuatan yang dilakukannya.

Pemimpin mempersiapkan diri dalam menghadapi berbagai proses dan tantangan yang ada melalui pengambilan risiko dan pengalaman yang dimilikinya. Dimensi ini difokuskan pada tingkat kemampuan pemimpin dalam membantu mengembangkan berbagai inovasi dalam organisasi.

Pemimpin mempersiapkan dengan baik segala kebutuhan dan keinginan dari pengikutnya. Pemimpin memberikan penghargaan pada bawahan yang berprestasi dan keramahan serta kepedulian pada para bawahan yang tidak terbatas hanya pada pekerjaan mereka. Dimensi ini mengukur tingkat dimana anggota organisasi merasa bahwa pemimpin sebenarnya memperdulikan para anggotanya sebagai manusia bukannya semata-mata sebagai instrumen dari pemimpin dan misi organisasi.

Pemimpin merupakan pelatih dan penasehat, meyediakan umpan balik yang bersifat kontinyu dan mengaitkan kebutuhan anggota organisasi dengan misi organisasi. Dimensi ini merupakan ukuran dimana pemimpin memberikan perhatian individu pada pekerjaan para pengikutnya dan kebutuhan pengembangan.

Pemimpin merangsang para pengikutnya untuk memikirkan kembali cara-cara lama para pengikutnya dalam melakukan sesuatu dan memikirkan kembali nilai-nilai dan kepercayaan mereka yang lama. Dimensi ini berkaitan dengan tingkat dimana para pengikut diberikan tugas-tugas yang menarik dan menantang serta adanya dukungan bagi mereka dalam memecahkan berbagai persoalan dengan cara mereka sendiri.

Dimensi ini pada dasarnya mencerminkan pemikiran terbaru dalam dimensi dan sifat dari kepemimpinan transformasional yang dikenal dengan model kepemimpinan baru (Pounder : 2001). Selain enam dimensi di atas, pertimbangan bahwa faktor kepercayaan juga merupakan hal yang penting bagi seorang pemimpin dalam melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan (Besslin dan Reddin ; 2006).

Perilaku Kepemimpinan Situasional

Perilaku pemimpin situasional orientasi visi, misi, dan tujuan yaitu Berkarakter yang cerdas dibuktikan dalam perilaku senyum, salam, sapa, disiplin. Pengarahan kepemimpinan situasional dilakukan melalui aspek pelebaran jaringan yaitu: (a) mampu mengembangkan sistem jaringan yang memadai; (b) mempublikasikan melalui media; © transparansi pada penyelenggeraan apapun; (d) adanya beasiswa; (e) pelayanan yang prima; (f) prestasi wajib diberi reward; (g) morning meeting; (h) penyediaan internet; (i) kerjasama dengan warga melalui internet. Sedangkan pengarahan kepemimpinan situasional melalui aspek daya saing, relevansi, efsiensi, dan kualitas yaitu: (a) kerjasama dengan semua komponen birokrasi; (b) kerjasama tentang topik relevan; © ikut serta kegiatan seminar; (d) mengoptimalkan sumber belajar sebagai sarana belajar pendukung; (e) adanya pelatihan; (f) adanya pendampin/mentor; (g) Green Festival;

Pengondisian dalam kepemimpinan Situasional

Pengondisian dalam kepemimpinan situasional dilakukan melalui pengondisian dalam mempengaruhi atasan dan rekan kerja, pengondisian dalam mempengaruhi warga, dan pengondisian dalam mempengaruhi elemen eksternal lainnya. Pengondisian dalam kepemimpin situasional untuk meningkatkan daya saing dilakukan melalui: (a) pengondisian dalam mempengaruhi rekan kerja melalui morning meeting, pendekatan personal, orang ketiga, koordinasi, dan fleksibel; (b) pengondisian dalam mempengaruhi atasan melalui morning meeting, pendekatan personal, orang ketiga, koordinasi, dan fleksibel; © pengondisian dalam mempengaruhi warga yaitu melalui rapat, open forum, paguyuban, pelibatan program, dan koordinasi yang efektif; (d) pengondisian dalam mempengaruhi warga juga melalui kewajiban mengikuti ekstrakurikuler guna bisa berdaya saing.

Emergent Leadership: The Eco-Leader Discourse

The continuous search for new leadership ideas is driven by two main urges: (1) the need to find contemporary leadership solutions to the changing social, political and economic conditions; and (2) the need to keep the huge leadership/management development industry afloat, through selling the latest ideas through books, consultancy and training, business and management schools, etc. Leaders themselves when new to post are under huge pressure to generate some signature change in order to prove their worth, often to the detriment of continuity to the organization. Politicians also scramble to modernize public institutions and to find ways to demonstrate their credentials as change agents. In academia, modernizing and modernity are now passé as we fly into the future of the latest ‘new’ which usually involves the word ‘post’, the post-modern, post-structural, post-industrial, etc. The fetish of the new is nicely captured by the phrase ‘I Pod therefore I am’ (Jones, 2005) suggesting you only exist if you follow the latest trend; many parents will fully understand this sentiment. Leadership itself can become what Marx called a ‘commodity fetish’ whereby the thing itself once commodifed, i.e. is changed into a product to sell, takes on a fetishist presence with little relation to what it actually is.However, beneath the hubris, there are signs of a new leadership discourse emerging which I call the Eco-leader discourse.The Eco-leadership discourse encompasses the systemic and emergent leadership I noted as the third leadership trend. I use the term ‘Eco-leadership’ to refer to an emerging leadership discourse which is immersed in leadership practices, values, metaphors and language which resonate with the term ecology. Ecology originates from biology and is a study of the inter-relations of living systems and the environment. Human ecology is the study of humans and their relationship to the environment.The Eco-leadership discourse is about a new paradigm of leadership which takes an ecological perspective. A leadership perspective which understands that solutions in one area of business may create problems in another. That growth in one industry causes decline in another, with social consequences. That short-term gains may have immediate benefits, but may have longer-term consequences which may damage the business and the environment. Eco-leadership recognizes that within an organization there are inter-dependent parts which make up a whole, this goes for all stakeholder relationships, and in ever widening circles that eventually reach the air that we breathe. It is about connectivity, interdependence and sustainability underpinned by an ethical socially responsible stance.

KESIMPULAN

Kepemimpinan merupakan faktor penting dalam menentukan kesuksesan dan kegagalan pencapaian kinerja karyawan. Temuan ini mendukung pernyataan Shamir et.al, (1991) yang menjelaskan pendapat dari Bass dan Avolio tentang kepemimpinan yang menempatkan banyak nilai dan memberikan perhatian pada pengembangan suatu visi serta memberikan inspirasi pada para pengikutnya untuk mencapai visi tersebut. Mereka memusatkan usaha mereka pada tujuan jangka panjang vs jangka pendek, mengubah atau memperbaiki sisem yang ada untuk mengakomodasi visi mereka dari pada bekerja dalam sistem yang ada. Mereka melatih diri untuk lebih bertanggung jawab pada apa yang mereka kembangkan untuk lebih baik dari pada yang lainnya melalui elemen-elemennya yang meliputi idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, individualized consideration, dapat meningkatkan usaha/motivasi karyawan, kepercayaan diri yang tinggi pada para pengikutnya, kemapuan bagi karyawan dalam menyelesaikan berbagai tugas-tugas yang diberikan, percaya diri dalam menyelesaikan berbagai persoalan, peningkatan dalam kepuasan kerja, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk bekerja keras, meningkatnya rasa optimisme pada diri karyawan, meningkatnya aktivitas pembelajaran pada diri karyawan, dan meningkatnya pemikirian-pemikiranvyang bersifat inovatif pada diri karyawan

Originally published at http://gooroe.com.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

--

--

Gama Syahid
Gama Syahid

Written by Gama Syahid

Stay inquisitive. — Discovering universe through reading, thinking, expertising engineering, and writing.

Responses (2)

Write a response