Islam dalam Budaya dan Budaya dalam Islam

Gama Syahid
30 min readJul 31, 2019

--

Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai sesuai dengan misi Islam sebagai agama rahmatan li al-’ālamīn. Ada lima teori masuknya Islam ke Nusantara, terutama jika dilihat dari aspek tempat asal pembawanya, yaitu teori Arab, teori Cina, teori Persia, teori India, dan teori Turki. Adapun strategi penyebaran Islam di Nusantara dilakukan melalui jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, pendidikan, dan islamisasi kultural. Jika kita menilik sistem penyebaran dengan dakwah, kebudayaan Indonesia mempunyai peran penting sebagai alat dakwah untuk memperkenalkan Islam kepada komunitas masyarakat nusantara dalam konteks sosial dan kebudayaan yang tidak bisa lepas keterkaitannya dengna agama. Berikutnya, dari sisi sendi-sendi kebudayaan mengakibatkan adanya kontribusi kepada efektivitas penyampaian pesan nilai-nilai keislaman. Akhirnya, kemunculan istilah konsep Islam Nusantara hadir sebagai bentuk implementasi kulturisasi nilai-nilai agama yang mencakup hukum agama ( fiqh), kepercayaan ( tauhid), serta etika ( akhlak). Dalam konsep Islam Nusantara pula, ada delapan pendekatan yang digunakan dimana kesemuanya memposisikan islam yang memengaruhi budaya Indonesia dan keberhasilannya dalam berdialog dengan budaya Indonesia.

Islam sebagai agama rahmatan li al-’ālamīn diterima di masyarakat karena ajaran yang dibawa mudah dimengerti yakni tentang aqidah, syariah, dan akhlak ( Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Nusantara hal.4). Di dalamnya tidak terdapat perbedaan antara suku, ras, dan negara. Semuanya satu dalam naungan Islam. Ajaran ini tersebar melalui perdagangan, pendidikan, dan budaya bukan dengan menjajah. Hal ini yang membedakan dengan ajaran lain sehingga membutuhkan waktu lama untuk diterima oleh masyarakat.

Sebagai agama, pesan-pesan yang telah diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad memerlukan proses transmisi agar bisa sampai kepada penerima pesan. Sehingga diperlukan berbagai pendekatan untuk dapat menemukan hakikat dari dakwah itu sendiri. Dengan proses dalam penegakkan tauhid, menumbuhkan persamaan, persaudaraan, kesejahteraan, keadilan dan menciptakan tatanan masyarakat yang menyelamatkan umat manusia. Tentu, tujuan yang ingin dicapai agar dapat mencapai kebahagiaan yang hakiki dan bukan kebahagiaan semu yang bersifat temporer dan fatamorgana. ( Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-dasar Ilmu Dakwah (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 3).

Namun perlu ditinjau untuk diketahui bersama, kelompok-kelompok dalam agama islam memiliki beberapa klasifikasi dalam pandangan hadirnya Islam. Kelompok pertama berambisi menyeragamkan seluruh budaya yang ada di dunia menjadi satu, sebagaimana yang dipraktekkan Nabi Muhammad. Budaya yang berbeda dianggap bukan sebagai bagian dari Islam. Kelompok ini disebut kelompok fundamentalis (Kasdi 2000, 20). Sementara kelompok kedua menginginkan Islam dihadirkan sebagai nilai yang bisa memengaruhi seluruh budaya yang ada. Islam terletak pada nilai, bukan bentuk fisik dari budaya itu. Kelompok ini disebut kelompok substantif. Ada satu lagi kelompok yang menengahi keduanya, yang menyatakan, bahwa ada dari sisi Islam yang bersifat substantif, dan ada pula yang literal.

Kesenian kebudayaan yang dimanfaatkan sebagai instrumen dapat menyalurkan konten dakwah melalui kreasi yang ditunjukkan oleh para pendakwah. Melalui Kesenian dan akulturasi kebudayaan tersebut, totalitas dakwah dapat eksis di kalangan komunitas Nusantara maupun mayarakat pada umumnya. Kebudayaan bisa tergolong sebagai media dalam berdakwah karena selalu bersentuhan dengan komunikasi pesan-pesan yang berkembang dalam pergaulan tradisional yang dapat menarik perhatian orang banyak sehingga menjadi sistem kebudayaan tersendiri. ( A. L. Kroeber dan C. Kluckhohn, Culture, a Critical review of Concepts and Definitions (Cambridge: Peabody Museum of American Archeology, 1952)).

Peranan antara kebudayaan dan akulturasi islam inilah yang selanjutnya memunculkan konsep Islam Nusantara. Ekspresi Islam Nusantara dihadirkan terkait dengan kenyataan bahwa, berkat dinamika tersebut, budaya nusantara mengembangkan ciri-ciri yang khas, yakni unsur-unsur yang menekankan pada kedamaian, harmoni dan silaturahim (kerukunan dan welas asih), yang sebenarnya hanya merupakan manifestasi dari inti ajaran Islam itu sendiri. Memang, kenyataan ini disumbang baik oleh budaya khas nusantara pra-Islam maupun oleh kenyataan bahwa Islam yang dihayati oleh mayoritas Muslim di negeri ini didasarkan pada wasatiyah (modernisasi), tawazun (keseimbangan) dan tasamuh (toleransi) (Mizan, 2016:10).

Dalam proses ini pembaruan Islam dengan budaya tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat Islamnya. al-Qur’an adalah harus tetap dalam bahasa Arab, terutama dalam salat, sebab hal ini telah merupakan norma. Sedang terjemahan al-Qur’an hanyalah dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman, bukan menggantikan al-Qur’an sendiri (Wahid, 2016:35).

Dalam melakukan penelitian ini, digunakan pendekatan kualitatif. Dalam pandangan Moleong, ( Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 3) pendekatan ini adalah pendekatan yang menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Secara khusus menggunakan kualitatif fenomenologis. Penelitian dalam pandangan fenomenologis bermaksud memaknai peristiwa yang berkaitan dengan situasi tertentu. Dalam memaknainya, selanjutnya ada dua tahapan pendekatan yang digunakan ( 1) filsafat ilmu, untuk menganalisa sisi ontologis, epistemologis, dan aksiologi ilmu pengetahuan ( Sumantri 1990, 105). Lebih khusus lagi, tulisan ini lebih memfokuskan pada landasan ontologis terkait dengan struktur pengetahuan, melacak struktur teori (terutama pendekatan keilmuan) untuk merumuskan hubungan islam dengan kebudayaan serta sebaliknya.

Kedua (2) pendekatan sosio-antropolinguistik, pendekatan yang menganalisis bahasa guna mencari makna tersembunyi dibalik pemakaian istilah Islam Nusantara agar mendapatkan pemahaman sosial dan budaya penuturnya (Foley 2001, 4–5). Teori yang digunakan yaitu analisis wacana deskriptif (AWD), teori struktur teori, teori akulturasi dan teori dakwah antarbudaya.

Potret Masyarakat

Secara historis, kebudayaan dan agama yang berkembang di Nusantara (Indonesia sekarang) sejalan dengan tradisi mereka yang berjalan kental saat itu, yaitu menganut anismisme dan dinamisme. Saat ini agama yang dianut penduduk Indonesia berkembang pesat dengan mayoritas penganut agama Islam. Keberagaman agama yang ada di tanah air, bukan menjadi sebuah sekat untuk tetap menjalin interaksi sosial yang dinamis baik hubungan antara individu, antar kelompok maupun antar individu dengan kelompok manusia. Sejak dini masyarakat terus diberikan pengetahuan untuk menjunjung tinggi toleransi antar pemeluk agama untuk saling menghargai dan menghormati keyakinan yang dianutnya masing-masing sehingga jarang terjadi konflik antar pemeluk agama dikarenakan relasi yang terjalin antar pemeluk agama selalu harmonis dan kekeluargaan yang tidak ada diferensiasi antara satu dengan lainnya. Diferensiasi ini tidak dijadikan sebuah masalah yang signifikan dalam kehidupan sebagai warga neaga Indonesia karena sudah termaktub jelas juga dalam ideologi bangsa pada sila pertama, ketuhanan yang maha esa, dimana semua orang berhak untuk menganut suatu agama yang diminati. Sebagaimana kita yakini bersama juga, adanya jaminan kebebasan beragama sebagai salah satu amanat konstitusi Negara.

Unsur budaya dan agama sangat penting dan terdapat dalam setiap kebudayaan. Unsur penting ini dijadikan aset dalam merekonstruksi terutama dalam mental spiritual penduduk. Salah satu unsur kebudayaan yang mungkin sering terdengar di masyarakat secara umum adalah kebudayaan wayang yang juga mampu sebagai media dakwah oleh salah satu penyiar agama Islam di Pulau Jawa, Sunan Kalijaga. Wayang yang telah popular pada penduduk Jawa dijadikan suatu media atau sarana dalam menyampaikan dakwah yang memuat konten ajaran Islam dan shalawat kepada Nabi Muhammad. Implikasinya, dengan adanya Wayang ini penduduk tanah Jawa bisa memberikan kontribusi dengan berkreasi dan berinovasi untuk mengonsepsikan dakwah. Wayang hanyalah satu diantara banyak kebudayaan Indonesia untuk dijadikan sebagai contoh. Contoh lain seperti tari saman dari Aceh hingga Tifa Syawat dari Kokoda, Papua juga bukti bahwa ada peran khusus kebudayaan dalam proses penyebaran agama Islam.

Teori dan Konsep Masuknya Islam ke Nusantara

Islamisasi merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah di Indonesia dan juga hal yang paling tidak jelas. Ketidakjelasan ini terletak pada pertanyaan kapan Islam datang, dari mana Islam berasal, siapa yang menyebarkan Islam pertama kali di Indonesia. Metamorfosa perkembangan Islam pada masa awal di Indonesia selalu menarik untuk dikaji dan diteliti. Hal tersebut dikarenakan Islam yang hadir di perairan nusantara ini mampu dengan cepat beradaptasi sehingga tidak memunculkan benturan budaya dengan adat dan tradisi lokal yang sudah ada sebelumnya ( M. Abdul Karim Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam Karim hal.323).

Tentang masuknya Islam di Indonesia ada pendapat dari para ahli sejarah dengan mengklasifikasikannya kedalam beberapa teori. Pertama, teori Arab. Teori ini menyatakan bahwa Islam dibawa dan disebarkan ke Nusantara langsung dari Arab pada abad ke-7/8 M, saat Kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya. Tokoh-tokoh teori ini adalah Crawfurd, Keijzer, Niemann, de Hollander, Hasymi, Hamka, Al-Attas, Djajadiningrat, dan Mukti Ali. Bukti-bukti sejarah teori ini sangat kuat. Pada abad ke-7/8 M, selat Malaka sudah ramai dilintasi para pedagang muslim dalam pelayaran dagang mereka ke negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia Timur. Berdasarkan berita Cina Zaman Tang pada abad tersebut, masyarakat muslim sudah ada di Kanfu (Kanton) dan Sumatera. Ada yang berpendapat mereka adalah utusan-utusan Bani Umayah yang bertujuan penjajagan perdagangan. Demikian juga Hamka yang berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia tahun 674 M. Berdasarkan Catatan Tiongkok, saat itu datang seorang utusan raja Arab bernama Ta Cheh atau Ta Shih (kemungkinan Muawiyah bin Abu Sufyan) ke Kerajaan Ho Ling (Kalingga) di Jawa yang diperintah oleh Ratu Shima. Ta-Shih juga ditemukan dari berita Jepang yang ditulis tahun 748 M. Diceritakan pada masa itu terdapat kapal-kapal Po-sse dan Ta-Shih KUo. Menurut Rose Di Meglio, istilah Po-sse menunjukan jenis bahasa Melayu sedangkan Ta-Shih hanya menunjukan orang-orang Arab dan Persia bukan Muslim India. Juneid Parinduri kemudian memperkuat lagi, pada 670 M, di Barus Tapanuli ditemukan sebuah makam bertuliskan HaMim. Semua fakta tersebut tidaklah mengherankan mengingat bahwa pada abad ke-7, Asia Tenggara memang merupakan lalu lintas perdagangan dan interaksi politik antara tiga kekuasaan besar, yaitu Cina di bawah Dinasti Tang (618–907), Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7–14), dan Dinasti Umayyah (660–749). ( Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, hal.4).

Kedua, teori Cina. Dalam teori ini menjelaskan bahwa etnis Cina Muslim sangat berperan dalam proses penyebaran agama Islam di Nusantara. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada teori Arab, hubungan Arab Muslim dan Cina sudah terjadi pada Abad pertama Hijriah. Dengan demikian, Islam datang dari arah barat ke Nusantara dan ke Cina berbarengan dalam satu jalur perdagangan. Islam datang ke Cina di Canton (Guangzhou) pada masa pemerintahan Tai Tsung (627–650) dari Dinasti Tang, dan datang ke Nusantara di Sumatera pada masa kekuasaan Sriwijaya, dan datang ke pulau Jawa tahun 674 M berdasarkan kedatangan utusan raja Arab bernama Ta cheh/Ta shi ke kerajaan Kalingga yang di perintah oleh Ratu Sima. ( Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, hal. 6)

Ketiga, teori Persia. Berbeda dengan teori sebelumnya teori Persia lebih merujuk kepada aspek bahasa yang menunjukan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara dan bahasanya telah diserap. Seperti kata “Abdas” yang dipakai oleh masyarakat Sunda merupakan serapan dari Persia yang artinya wudhu. Bukti lain pengaruh bahasa Persia adalah bahasa Arab yang digunakan masyarakat Nusantara, seperti kata-kata yang berakhiran ta’ marbūthah apabila dalam keadaan wakaf dibaca “h” seperti shalātun dibaca shalah. Namun dalam bahasa Nusantara dibaca salat, zakat, tobat, dan lain-lain. ( Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, hal. 8)

Keempat, teori India. Teori ini menyatakan Islam datang ke Nusantara bukan langsung dari Arab melainkan melalui India pada abad ke-13. Dalam teori ini disebut lima tempat asal Islam di India yaitu Gujarat, Cambay, Malabar, Coromandel, dan Bengal ( Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, hal. 9).

Kelima, teori Turki. Teori ini diajukan oleh Martin Van Bruinessen yang dikutip dalam Moeflich Hasbullah. Ia menjelaskan bahwa selain orang Arab dan Cina, Indonesia juga diislamkan oleh orang-orang Kurdi dari Turki. Ia mencatat sejumlah data. Pertama, banyaknya ulama Kurdi yang berperan mengajarkan Islam di Indonesia dan kitabkitab karangan ulama Kurdi menjadi sumber-sumber yang berpengaruh luas. Misalkan, Kitab Tanwīr al-Qulūb karangan Muhammad Amin alKurdi populer di kalangan tarekat Naqsyabandi di Indonesia. Kedua, di antara ulama di Madinah yang mengajari ulama-ulama Indonesia terekat Syattariyah yang kemudian dibawa ke Nusantara adalah Ibrahim alKurani. Ibrahim al-Kurani yang kebanyakan muridnya orang Indonesia adalah ulama Kurdi. Ketiga, tradisi barzanji populer di Indonesia dibacakan setiap Maulid Nabi pada 12 Rabi‟ul Awal, saat akikah, syukuran, dan tradisi-tradisi lainnya. Menurut Bruinessen, barzanji merupakan nama keluarga berpengaruh dan syeikh tarekat di Kurdistan. Keempat, Kurdi merupakan istilah nama yang populer di Indonesia seperti Haji Kurdi, jalan Kurdi, gang Kurdi, dan seterusnya. Dari fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa orang-orang Kurdi berperan dalam penyebaran Islam di Indonesia.

Teori Persia, India, Cina, dan Turki semuanya menjelaskan tentang pengaruh-pengaruh setelah banyak komunitas dan masyarakat muslim di Nusantara. Jadi, sebenarnya teori tersebut tidak menggugurkan atau melemahkan teori sebelumnya, tetapi melengkapi proses Islamisasi. ( Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, hal.11–12).

Berdasarkan uraian tersebut mengenai masuknya Islam di Indonesia terjadi perbedaan pendapat, yakni abad ke-1 H/7 M dan abad ke-13 M. Masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara melalui proses waktu yang panjang. Namun secara garis besarnya Azyumardi Azra mengemukakan pendapat dalam bukunya M. Abdul Karim yang berjudul Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam menyatakan, ( M. Abdul Karim Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam Karim hal. 326) ada empat tema pokok yang berkaitan dengan permulaan penyebaran Islam di Nusantara yaitu; pertama, Islam dibawa langsung dari Arab; kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyiar profesional (maksudnya, mereka yang khusus bermaksud menyebarkan Islam semacam zondiq); ketiga, pihak yang mulamula masuk Islam adalah penguasa. Kemudian keempat, mayoritas para penyebar Islam profesional ini datang di Nusantara pada abad ke-12 dan abad ke-13. Selanjutnya Azra menyatakan bahwa meskipun Islam sudah diperkenalkan ke Nusantara sejak abad Pertama Hijriah, namun hanya setelah abad ke-12 M pengaruh Islam tampak lebih nyata, dan proses Islamisasi baru mengalami akselerasi antara abad ke-12 dan 16 M.

Strategi Penyebaran Islam di Nusantara

Terlepas dari teori masuknya Islam ke Nusantara, strategi penyebarannya-pun patut diuraikan. Strategi penyebarannya-pun bermacam-macam. Pertama, melalui jalur perdagangan. Awalnya Islam merupakan komunitas kecil yang kurang berarti. Interaksi antar pedagang muslim dari berbagai negeri seperti Arab, Persia, Anak Benua India, Melayu, dan Cina yang berlangsung lama membuat komunitas Islam semakin berwibawa, dan pada akhirnya membentuk masyarakat muslim. Selain berdagang, para penyebar agama Islam dari berbagai kawasan tersebut juga menyebarkan agama yang dianutnya, dengan menggunakan sarana pelayaran.

Kedua, melalui jalur dakwah bi al-hāl yang dilakukan oleh para muballigh yang merangkap tugas menjadi pedagang. Proses dakwah tersebut pada mulanya dilakukan secara individual. Mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban syari‟at Islam dengan memperhatikan kebersihan, dan dalam pergaulan mereka menampakan sikap sederhana. ( Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, hal. 327)

Ketiga, melalui jalur perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang Muslim, muballigh dengan anak bangsawan Nusantara. Berawal dari kecakapan ilmu pengetahuan dan pengobatan yang didapati dari tuntunan hadits Nabi Muhammad SAW. ada di antara kaum muslim yang berani memenuhi sayembara yang diadakan oleh raja dengan janji, bahwa barang siapa yang dapat mengobati puterinya apabila perempuan akan dijadikan saudara, sedangkan apabila laki-laki akan dijadikan menantu. Dari perkawinan dengan puteri raja lah Islam menjadi lebih kuat dan berwibawa.

Keempat, melalui jalur pendidikan. Setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai kekuatan ekonomi di bandar-bandar seperti Gresik. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam. Pusat-pusat pendidikan dan dakwah Islam di kerajaan Samudra Pasai berperan sebagai pusat dakwah pertama yang didatangi pelajar-pelajar dan mengirim muballigh lokal, di antaranya mengirim Maulana Malik Ibrahim ke Jawa.

Kelima, melalui jalur kultural. Awal mulanya kegiatan islamisasi selalu menghadapi benturan denga tradisi Jawa yang banyak dipengaruhi Hindu-Budha. Setelah kerajaan Majapahit runtuh kemudian digantikan oleh kerajaan Islam. Di Jawa Islam menyesuaikan dengan budaya lokal sedang di Sumatera adat menyesuaikan dengan Islam. ( M. Abdul Karim Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam Karim hal. 331).

Keunikan strategi kelima, yaitu melalui jalur kultural membuat corak warna yang luarbiasa bagi Indonesia atau Nusantara pada waktu itu. Hubungan antara budaya dengan islam dan islam dengan budaya begitu tinggi. Dan terbukti dengan mengaitkannya menjadi bagian yang tak terpisahkan akan menghasilkan benang merah sebagai strategi yang sangat jitu dalam penyebaran agama Islam.

Pengaruh Islam terhadap Budaya Indonesia

Budaya Indonesia adalah pemikiran, perilaku, kebendaan, dan sistem nilai yang memiliki karakteristik tertentu, seperti keyakinan dan kepercayaan yang berbeda-beda, terbuka, egaliter, tidak merasa paling tinggi satu sama lain, sopan-santun, tata krama, toleransi, weruh saduruning winarah dan suwuk, hamengku, hangemot, dan hangemong. Jadi, ini adalah unsur-unsur budaya islam dan nusantara. Karena budaya islam; nilai-nilai islam, teologi (sistem kepercayaan), pemikiran dan praktek ibadah yang bersifat qath’i, juga dianggap sebagai ajaran islam yang bersifat lokal-Arab.

Untuk bisa merunut pengaruh agama Islam, perlu dikembalikan ke awal mula tujuan Islam datang ke Indonesia. Pertama, Islam adalah agama yang datang ke nusantara dengan tujuan mengislamkan masyarakatnya. Sehingga Islam hadir untuk memengaruhinya.

Kedua, pada tataran ini Islam dan budaya Indonesia dalam posisi seimbang. Islam merasa sejajar dengan budaya lokal bisa dimaknai tiga pengertian. (1) Islam memiliki budaya fisik-sosiologis yang memilki karakteristik ke-Arab-an bisa digabung dengan budaya lokal, sehingga memunculkan budaya baru. , (2) Islam dan budaya lokal seimbang dalam wilayah nilai-nilai universal. (3) Islam merasa sejajar dalam wilayah teologis (sistem kepercayaan) dan peribadatan dengan budaya lokal, tetapi di antara keduanya tidak ada saling sapa melainkan saling menghormati atau toleransi.

Ketiga, budaya lokal memengaruhi Islam. Budaya Indonesia sebagai “tuan rumah” aktif dalam menjaga, memberi tempat, dan membina Islam agar tidak berbenturan. Ini menunjukkan bahwa ketika masuk dalam budaya lokal, Islam diletakkan dalam posisi tertentu sehingga tidak memengaruhi unsur-unsur budaya Nusantara. Ibarat rumah, Islam hanya diperbolehkan masuk ke kamar tertentu tetapi dilarang masuk kamar lain.

Pandangan Intelektual Muslim Indonesia

Islam Nusantara (IN) terdiri dari dua kata, Islam dan Nusantara. Islam berarti “penyerahan, kepatuhan, ketundukan, dan perdamaian” ( nu.or.id). Islam berarti “penerahan, kepatuhan, ketundukan dan perdamaian”. Agama ini memiliki lima ajaran pokok sebagaimana diungkanpak Nabi Muhammad, yaitu “Islam adalah bersasi sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanan puasan dan menunaikan haji-bagi yang mampu.” Selain itu Islam memilki dua pedoman yang selalu dirujuk, Al-Qur’an dan Hadith. Keduanya memuat jaran yang membimbing umat manusia beserta alam raya ke arah yang lebih baik dan teratur.

Nusantara adalah istilah yang menggambarkan wilayah kepulauan dari Sumatera hingga Papua. Kata ini berasal dari manuskrip berbahasa Jawa sekitar abad ke-12 sampai ke-16 sebagai konsep Negara Majapahit. Sementara dalam literatur berbahasa Inggris abad ke-19, Nusantara merujuk pada kepulauan Melayu. Ki Hajar Dewantoro, memakai istilah ini pada abad 20-an sebagai salah satu rekomendasi untuk nama suatu wilayah Hindia Belanda (Kroef 1951, 166–171). Karena kepulauan tersebut mayoritas berada di wilayah negara Indonesia, maka Nusantara biasanya disinonimkan dengan Indonesia. Istilah ini, di Indonesia secara konstitusional juga dikukuhkan dengan Keputusan Presiden (Kepres) MPR No.IV/MPR/1973, tentang Garis Besar Haluan Negara Bab II Sub E. Kata Nusantara ditambah dengan kata wawasan.

Pertama, pendekatan filosofis memunculkan lima istilah. IN adalah istilah yang bersifat non-positivistik, pisau analisa, islam subtantif , dan sebagai sistem nilai. Kedua, pendekatan budaya. Pendekatan ini memunculkan tiga istilah, yaitu IN sebagai Islam bahari, Islam sehari-hari, dan model. IN sebagai “islam bahari” adalah praktik keislaman yang diwarisi dari gaya hidup masyarakat bahari atau masyarakat maritim yang biasa berhubungan dengan para pendatang baru dari berbagai pulau. Ketiga, pendekatan linguistik yang memunculkan istilah Islam fi Indonesia. Istilah ini digagas Umar A.H, yang mendefiniskan IN dengan mengkiaskan pada frasa ida fi dalam bahasa Arab. ( nu.or.id). Menurutnya, Islam Nusantara bukanlah upaya me-lokal-kan Islam, atau membuat “agama” Islam Nusantara, tetapi usaha dalam memahami dan menerapkan islam tanpa mengesampingkan tempat islam diimani dan dipeluk, yakni Indonesia. IN sama dengan Islam yang dipraktekkan di Indonesia dengan pengertian geografis. Keempat, pendekatan filsafat hukum yang memunculkan istilah Islam sebagai metodologi. Kelima, pendekatan hukum yang memunculkan istilah fikih nusantara. Istilah ini dimunculkan oleh KH Afifuddin Muhajir ( nu.or.id). Menurutnya, IN merupakan pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fikih muamalah sebagai hasil dialektika antara nash, syariat, ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara. Keenam, pendekatan historis-antropologis yang memunculkan dua istilah, yaitu Islam Khas Indonesia dan islam budaya nusantara. Yang dimaksud IN sebagai Islam khas Indonesia adalah:

Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilainilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air. Dalam konteks ini, budaya suatu daerah atau negara tertentu menempati posisi yang setara dengan budaya Arab dalam menyerap dan menjalankan ajaran Islam. Suatu tradisi Islam Nusantara menunjukkan suatu tradisi Islam dari berbagai daerah di Indonesia yang melambangkan kebudayaan Islam dari daerah tersebut. ( www.nu.or.id).

Ketujuh, pendekatan historis-filologis yang memunculkan dua istilah, yaitu Islam empirik yang terindegenisasi dan pemikiran khas Indonesia. Kedelapan, pendekatan sosiologis-antropologis-historis yang memunculkan IN sebagai islam faktual. Islam faktual oleh Irham ( nu.or.id), diartikan sebagai respon pemeluknya terhadap Alquran dan hadith, sehingga mengejawantah menjadi keberagamaan (perilaku, pemahaman, dan keayakinan orang beragama).

Islam Nusantara dan Budaya Lokal

Islam Nusantara berfungsi membuka jalan awal bagi pemahaman seseorang dalam menggali dan mengkaji pemikiran, pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran Islam yang mencerminkan dan dipengaruhi oleh kawasan ini ( Qomar, 2016:200). Tradisiitulah yang kemudian disebut dengan Islam Nusantara, yakni Islam yang telah melebur dengan tradisi dan budaya nusantara ( Bizawie, 2016:240).

Islam bukan hanya cocok diterima oleh Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yakni rahmatan lil ‘alamin ( Bizawie, 2016:240). Model Islam nusantara itu bisa dilacak dari sejarah kedatangan jaran Islam ke wilayah Nusantara yang disebutnya melalui vernakularisasi dan diikuti proses pribumisasi, sehingga Islam menjadi embedded (tertanam) dalam budaya Indonesia ( Azra, 1995: 2–15).

Bentuk operasionalisasi Islam nusantara adalah proses perwujudan nilai-nilai Islam melalui (bentuk) budaya lokal. Dalam tataran praksisnya, membangun Islam nusantara adalah menyusupkan nilai Islami di dalam budaya lokal atau mengambil nilai Islami untuk memperkaya budaya lokal atau menyaring budaya agar sesuai Islam ( Bizawie, 2016:243).

Pertama, penghormatan pada guru, baik masih hidup maupun yang sudah meninggal. Penghormatan ini melahirkan tradisi ziarah kubur ke makam para ulama dan wali berkembang subur di kalangan umat Islam Indonesia. Dalam ziarah ini pelaku membacakan tahlil dan tawasul untuk mendoakan arwah ulama atau wali, sebagai orang yang dekat dan dikasihi Allah, agar mereka dimohonkan doa kepada Allah. Selain tawasul, pelaku ziarah juga melakukan i’tibar (mengambil pelajaran) atas perjuangan para wali atau ulama dalam menyebarkan Islam.

Kedua, pembacaan shalawat kepada nabi adalah bentuk tawasul paling murni dari Islam Nusantara. Pembacaan ini telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga lahir berbagai macam sholawat, seperti pembacaan Maulid Nabi, diba’, barzanji, shalawat munjiyat, manaqib dan lain-lain. Syeh Burhanddin Ulakan di Minangkabau (murid Syekh Nuruddin Ar-Raniri) menciptakan Sholawat Dulang untuk sarana dakwah. Demikian juga Kiai Manshur Shiddiq di Jawa Timur untuk menghadapi kelompok ateis menciptakan Shalawat Badar. Pembacaan shalawat ini dilakukan di Surau atau Langgar setiap malam Jum’at atau perayaan lahirnya Nabi Muhamamad saw. Bentuk pembacaan itu adakalanya hanya dalam bentuk lisan, tetapi ada yang diiringi dengan beraneka ragam alat musik terutama rebana.

Ketiga, tradisi pembacaan tahlil dan pembacaan al-Qur’an saat ada orang meninggal dunia. Selain dijadikan sarana mendoakan orang Muslim yang meninggal, tradisi ini juga menjadi sarana pelipur lara bagi keluarga yang ditinggalkan, menggantikan kebiasaan zaman pra Islam yang mengisi acara kematian dengan judi dan pesta minuman keras. Tradisi meratapi si mayit oleh para Wali (penyebar Islam di Nusantara) diganti dengan talqin, sementara kebiasaan judi diganti dengan pembacaan zikir dan tahlil.

Keempat, para Wali melakukan kreasi dalam berdakwah dengan menggunakan berbagai sarana misalnya seni wayang atau pemanfaatan alat tradisional seperti beduk dan kentongan untuk keperluan ibadah umat Islam. Kedua sarana yang selama ini digunakan sebagai pemberitahua n dan tanda akan diselenggarakan pertemuan atau tanda bahaya (tergantung iramanya) dimanfaatkan oleh Wali untuk memberi tahu tanda dimulainya waktu sembahyang, karena adzan saja yang diteriakk an melalui menara belum cukup komunikatif mengingat jarak antara masjid, langgar atau surau dengan rumah penduduk sangat jauh dan berpencaran. Dengan alat bantu berupa bedug dan kentongan yang suaranya bisa didengar di kampung lain memudahkan jadi penanda telah masuknya waktu shalat. Bahkan ukuran beduk dan panjang kentongan diselaraskan dengan kedudukan masjid atau surau dan langgar. Beduk masjid agung berbeda besarnya dengan mesjid biasa. Alat yang dulunya sekadar sarana bantu, kemudian berkembang sebagai penentu status dari masjid yang bersangkutan, dan selanjutnya ini menjadi perwujudan dari Islam di kawasan Nusantara, sehingga tidak sempurna sebuah masjid yang tidak memiliki beduk yang representative ( Mastuki, 2015:1)

Islam Nusantara sebagai Corak Islam Kultural

Indonesia merupakan salah satu di antara sedikit negara di mana Islam tidak menggantikan agama-agama yang ada sebelumnya. Itu disebabkan karena proses Islamisasi di Indonesia berlangsung dengan cara yang sering disebut penetration pacifique (penetrasi secara damai), terutama oleh para pedagang-cum-dai (pendakwah). Hasil Islamisasi dengan cara tersebut adalah praktik sinkretisme yang luas dikenal di Indonesia. Salah satu indikasinya adalah sistem penanggalan Jawa, yang mempertahankan asal-usul Hindu kalender Shaka tetapi mengubah sistem penanggalannya dari sistem solar ke lunar, dengan menggunakan nama-nama Arab yang disesuaikan dengan rasa kejawaan untuk menyebut kedua belas bulan: (1) Suro (konversi bahasa Jawa, dalam bahasa Arab disebut As-syura), untuk Muharram; (2) Sapar untuk Shafar; (3) Maulud (dikonversi dari bahasa arab maulid, perayaan kelahiran Nabi Muhammad saw), untuk Rabi’ Al-awwal; (4) Bakdo Maulud (dikonversi ba’d al-maulid, ‘setelah Maulid’), untuk Rabi’ A-Tsani; (5) Jumadilawal, untuk Jumada Al-Ula; (6) Jumadilakhir, untuk Jumada Al-Tsaniyah; (7) Rejeb, untuk Rajab; (8) Ruwah (dikonversi dar bahasa Arab arwah, ‘ruh-ruh’ kerena kepercayaan rakyat bahwa pada bulan kedelapan ini, ruh orang yang sudah mati akan dibangkitkan kembali dari makam mereka untuk menyambut kedatangan Ramadhan), untuk Sya’ban; (9) Poso (kata Jawa, yang artinya ‘puasa’), untuk Ramadhan; (10) Sawal, untuk Syawwal; (11) Selo (kata Jawa yang artinya ‘di antara’, yakni antara dua hari besar Islam ‘Id al-Fithr pada bulan Syawwal dan ‘Id Al-Adha pada bulan Dzulhijjah), untuk Dzulqa’dah; dan (12) Besar (kata Jawa yang artinya ‘besar’, yakni bulan berlangsunganya perayaan hari besar ‘Id al-Adha), untuk Dzulhijjah. Kalender Jawa untuk 1993 Masehi adalah 1924 (bukan 1413 H). Pentingnya kalender Islam Jawa ini tidak perlu dibesar-besarkan lagi. Presiden Soeharto sendiri beranggapan bahwa perayaan hari ulang tahun dalam kalender Islam Jawa lebih penting dan secara spiritual lebih bermakna dibanding peristiwa sejenis menurut kalender Barat. Itulah sebabnya mengapa ia merayakan harinya yang istimewa (tumbuk besar), yakni ketika ia mencapai usia yang keenam puluh, menurut perhitungan kalender Islam Jawa, pada 1 Sawal 1915, yang jatuhnya bertepatan dengan 13 Juli 1983 ( Abdullah, 1998:94).

Kreasi budaya yang dipromosikan Walisongo selalu mengapresiasi budaya setempat. Hal itu semua dilakukan oleh Walisongo untuk menghormati budaya setempat tanpa menghilangkan keharusan untuk menginter nalisasikan ajaran Islam. Bahkan, penghargaan terhadap tradisi juga masih ada yang berkembang hingga sekarang. Sebagai contoh, larangan Sunan Kudus bagi masyarakat muslim Kudus untuk memakan daging sapi, menurut Abdurrahman Mas’ud, masih dijaga hingga sekarang meskipun mereka mengetahuinya sebagai halal. Hal itu dilakukan sebagai bentuk dari toleransi budaya yang menyatu dalam diri mereka ( Suparjo, 2008:1).

Perlu dipahami bahwa akulturasi bukanlah integrasi budaya atau sinkretisme, meskipun dalam batas tertentu hal itu mungkin pula terjadi. Jika dilihat, proses akulturasi yang dilakukan oleh Walisongo bukanlah bentuk integrasi ataupun sinkretisme budaya. Walisongo tidak mengintegrasikan antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan lokal, tetapi mereka mengambil instrumen kebudayaan lokal untuk diisi dengan nilai-nilai keislaman. Mereka tidak pula melakukan sinkretisme karena nilai-nilai teologi keislaman tidak dipadukan atau dicampuradukkan dengan nila-nilai teologi lokal. Hal itu sekali lagi dilihat sebagai bentuk akulturasi budaya yang dialektis dan dinamis. Maksudnya, Walisongo membangun dan mengembangkan budaya Islam dengan basis kebudayaan lokal ( Suparjo, 2008:1).

Dalam bukunya Raymond F. Paloutzian menegaskan “ Intrinsics tend to disagree with statements that suggest a utilitarian motive for adhering to the faith. The intrinsic would also object to the self-serving theme running through the statement. It implies that one is religious strictly so that one can get something out of it, in this case, comfort.” Dapat kita lihat bahwa ketika seorang menjalankan agamanya secara intrinsik maka agama akan memotivasi dirinya untuk beramal soleh. Bukan hanya itu saja, seluruh sendi-sendi kehidupannya berjalan sesuai dengan ajaran yang diyakininya, sehingga syariat yang ada dalam ajaran Islam dapat terintegrasi dalam kepribadiannya. Dari sini dapat dilihat proses interaksi antara manusia dengan Tuhannya berjalan sebagaimana mestinya, yang biasa kita kenal dengan istilah ‘hablumminallah’. Selain hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya, ada hubungan manusia dengan lingkungan sosialnya, yang biasa kita sebut hablumminannas, Raymond F. Paloutzian menyebutnya dengan istilah utilitarian yaitu seseorang akan merasa puas atau merasa senang ketika ia dapat membantu sesamanya, ia merasakan hidupnya lebih hidup ketika orang tersebut dapat bermanfaat bagi sesamanya. Dalam persfektif agama Islam beragama semacam ini di identikan dengan sikap amal sholeh. Orang yang beramal sholeh mampu menginternalisai nilai-nilai agama kedalam ranah kesadaran spritual dan sosial

Dalam jurnal yang disamapaikan Khabibi Muhammad Luthfi ada 3 ungkapan yang menunjukkan budaya lokal memengaruhi Islam, sehingga berpenngaruh terhadap cara berislamnya masyarakat Indonesia, Jawa khususnya. Pertama, Islam adalah agama yang datang ke nu santara dengan tujuan mengislamkan masyarakatnya. Islam hadir untuk me mengaruhinya. Ini dapat dilihat dari ungkapan yang menjelaskan Islam Nusantara sebagai konsep bahwa Islam dengan nilainilainya itu yang mempengaruhi. Mirip dengan kaidah dalam kitab fikih, fath al-Mu’in; yang mendatangi itu lebih diunggulkan daripada yang didatangi. Dalam hubungan ini, budaya yang dibawa Islam untuk memengaruhi Nusantara adalah sistem nilai subtantif atau universal, teologi, dan ritual Ibadah yang sifatnya pasti. Sementara budaya Islam yang bersifat fisik-dalam pengertian sosiologis-seperti cara berpakaian, berjilbab, dan nada membaca al-Quran (langgam) dianggap sebagai budaya Arab yang tidak perlu dibawa ke Nusantara. Konsep inilah yang ditonjolkan Islam Nusantara sebagaimana dijelaskan Moqsith (sebagai metodologi) dengan ungkapan ‘melabuhkan’. “Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Islam nusantara bukan sebuah upaya sinkretisme yang memadukan Islam dengan agama Jawa, melainkan kesadaran budaya dalam berdakwah sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendahulu kita walisongo.” Kedua, pada tataran ini Islam dan budaya Indonesia dalam posisi seimbang. Islam merasa sejajar dengan budaya lokal bisa dimaknai tiga pengertian. (1) Islam memiliki budaya fisik-sosiologis yang memilki karakteristik kearaban bisa digabung dengan budaya lokal, sehingga memunculkan budaya baru. Misalnya, lembaga pendidikan pesantren dan tulisan pegon (gabungan dari budaya tulisan Arab dengan bahasa Nusantara). Mahrus mengungkapan adaptasi. Selanjutnya, (2) Islam dan budaya lokal seimbang dalam wilayah nilai-nilai universal. Sebagimana dijelasakan Ishom Syauqi, bahwa Islam Nusantara hendak mewujudkan budaya dan peradaban baru dunia yang berbasis pada nilai-nilai luhur dan universal keislaman dan kenusantaraan. Di sini, nilai Islam dan kenusantaraan sejajar, sehingga keduanya menghasilkan peradaban baru. (3) Islam merasa sejajar dalam wilayah teologis (sistem kepercayaan) dan peribadatan dengan budaya lokal, tetapi di antara keduanya tidak ada saling sapa melainkan saling menghormati atau toleransi. Ini dibuktikan dengan adanya UUD dan Pancasila yang dijadikan sebagai dasar negara Indonesia. Argumentasi yang cukup komprehensif diungkapkan oleh Musthofa Bisri dengan ungkapan toleransi: “Islam Nusantara yang telah memiliki wajah yang mencolok, sekaligus meneguhkan nilai-nilai harmoni sosial dan toleransi dalam kehidupan masyarakatnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta bersendikan Bhinneka Tunggal Ika, secara nyata merupakan konsep yang mencerminkan pemahaman Islam ahl as-sunnah wa aljama’ah yang berintikan rahmat. Ketiga, budaya lokal memengaruhi Islam. Budaya Indonesia sebagai ‘tuan rumah’ aktif dalam menjaga, memberi tempat, dan membina Islam agar tidak berbenturan. Ini menunjukkan bahwa ketika masuk dalam budaya lokal, Islam diletakkan dalam posisi tertentu sehingga tidak memengaruhi unsur-unsur budaya Nusantara. Ibarat rumah, Islam hanya diperbolehkan masuk ke kamar tertentu tetapi dilarang masuk kamar lain.

Penggunaan Instrumen Kebudayaan untuk Dakwah Kultural dan Penciptaan Islam Nusantara

Budaya masyarakat yang bersifat dinamis yang selalu bergerak dan berubah melalui proses internalisasi yang berlangsung sepanjang hidup individu. Manusia yang memiliki bakat yang telah terkandung dalam gennya untuk mengembangkan berbagai macam perasaan dan emosinya, tetapi wujud dan pengaktifannya sangat dipengaruhi oleh berbagai stimulasi yang terdapat dalam lingkungan sosial budayanya. Menurut Guenon bahwa ini merupakan keseluruhan representasi dari karakteristik tradisional yang di dalamnya tradisi memiliki ekspresi nilai klasik dan nilai eksoterik.( Rene Guenon, East and West, Terjemahan Martin Lings (London: Luzac and Co, Ltd, 1995), hlm. 214). Sehingga dapat memahami suatu kebudayaan dan mengamati jalannya proses sosialisasi yang lazim dialami oleh setiap individu dalam suatu kebudayaan. Oleh karena itu, kesenian kebudayaan memiliki esensi tersendiri bagi komunitas masyarakat yang ditradisikan dari generasi ke generasi agar komunitas tersebut bisa memahami nilai-nilai Islam dan meneladani sifat Rasulullah dalam kehidupannya sehingga menjadi insan yang bertawakal kepada Allah.

Dakwah melalui pendekatan kultural merupakan manifestasi dan perwujudan dari segala aktivitas manusia sebagai upaya untuk memudahkan dan memenuhi kebutuhan manusia di berbagai aspek kehidupan. Dakwah adalah sebuah proses untuk menuju pada jalan Islam yang tercermin pada perilaku insan yang sejalan dengan fitrah yang lurus dan dianggap baik oleh akal yang jernih serta menjadi sandaran hati bagi jiwa yang suci. Menurut Hamka, ajaran Islam yang didakwahkan adalah Islam sebagai pedoman hidup secara holistik. Islam sebagai pedoman hidup yang perlu dihayati dan diamalkan oleh manusia sehingga mencapai kehidupan bahagia dunia dan akhirat. Islam yang disampaikan bukan hanya sebatas berhubungan dengan Allah saja tetapi juga berhubungan dengan individual, sosial maupun dengan alam sekitar. Oleh karena itu, adanya kebudayaan sebagai jembatan dakwah bisa memberikan sebuah nuansa spiritualitas yang sangat dibutuhkan dalam dakwah agar nilai-nilai Islam dapat diinternalisasi dalam diri setiap individu.

Selain itu, budaya lokal dijadikan media untuk menyampaikan ajaran Islam itu sendiri. Bukan hanya ajaran Islam tekstual yang perlu mendapat perhatian, diperlukan juga perhatian kepada pendekatan penghayatan ajarannya, yaitu pendekatan integrasi. Dalam hal ini, mengintregasikan antara tauhid ke dalam ibadah dan muamalah. Amalan ibadah mengandung aspek muamalah dilakukan juga dalam rangka beribadah. Integrasi muamalah dan ibadah juga berarti penyatuan amal individual yang berhubungan dengan Allah dan berhubungan antarsesama manusia. Pemahaman ajaran Islam yang hendaknya ditingkatkan terus menjadi pemahaman hakiki, mendalam, mendasar dan universal atau filosofi dengan tujuan untuk mencapai esensi yang tertinggi. ( Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 202)

Proses pembentukan dan pewarisan nilai adalah proses internalisasi nilai yang akhirnya akan menjadikan nilai itu dimiliki dan menjadi bagian utama dari kehidupan individu maupun sosial, yang mana nilai agama harus dihayati oleh individu maupun sosial melalui suatu proses pertumbuhan dalam dirinya yang akan efektif apabila dapat dimanfaatkan dalam hidupnya. Generasi muda yang memiliki latar belakang kehidupan beragama secara sosial yang kuat, yang dibesarkan dalam suasana keagamaan yang holistik yang tercermin juga dalam kegiatan sosial mereka, seperti pengajian, kesenian keagamaan dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Hal ini akan berbeda pada generasi muda yang memiliki latar belakang kehidupan beragama yang bersifat peripheral, baik mereka sebagai minoritas yang berada ditengahtengah mayoritas non Islam atau sebagai mayoritas muslim nominal. Bagi generasi muda yang memiliki latar belakang kehidupan beragama sosial yang kuat, demikian halnya dengan generasi muda muslim sebagai mayoritas muslim nominal, umumnya tidak banyak mengalami benturan nilai-nilai sebagai hasil interaksi intensif dalam hubungannya dengan masyarakat. Di masa depan, dibutuhkan peran dari generasi muda Indonesia agar kebudayaan sebagai warisan nenek moyang turun-temurun tetap terwujud dalam aktivitas sehari-hari walaupun berbagai tantangan dakwah apalagi dengan dinamika kehidupan modern.

Strategi Dakwah Melalui Kesenian Kebudayaan

Dakwah sekarang bukan hanya dipahami sebagai proses penyampaian misi Islam melalui ceramah, khutbah yang biasanya dilakukan oleh para da’i, akan tetapi dakwah bisa pula dilakukan dengan berbagai aktivitas keislaman yang dapat memberikan motivasi kepada masyarakat sehingga pengaktualisasian nilai-nilai Islam terealisasikan dalam kehidupan individu maupun sosial. Pendekatan kultural melalui kesenian kebudayaan yang digunakan sebagai media dalam mengemban dakwah, dapat diimplementasikan dalam dakwah agar pentransformasian ajaran Islam dapat diberdayakan untuk pengembangan kualitas kehidupan muslim dalam aspek identitas kultural. ( Allan Hoben dan Robert Hefner, “The Integrative Revolution Revisited”, dalam World Development, Volume 19, Nomor 1, hlm. 17–30). Oleh karena itu, dalam perspektif dakwah Islam, budaya atau kebudayaan adalah aktualisasi dari sikap tunduk (ibadah atau peribadatan) manusia kepada Allah. Salah satu analog yang menunjukkan simbol dan nilai budaya sebagai sikap tunduk pada Allah.

Ketika agama masuk pada suatu masyarakat lain di luar masyarakat pembentukannya, agama itu akan mengalami proses penyesuaian dengan kebudayaan yang telah ada. Ada kompromi nilai atau simbol antargama yang masuk dengan kebudayaan asal yang menghasilkan format baru yang berbeda dengan agama atau budaya asal. Proses adaptasi ini terjadi begitu saja dalam setiap proses pemaknaan ditengah masyarakat yang telah memiliki struktur kebudayaan. Dengan pendekatan kultural, agama yang dipandang sebagai bagian dari kebudayaan, baik wujud ide, gagasan yang dianggap sebagai sistem norma dan nilai yang dimiliki oleh setiap individu. ( Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 25). Hal itu semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Kebudayaan yang diamalkan oleh masyarakat Islam adalah lanjutan daripada pengamalan agama Islam. Tidak mungkin orang mengamalkan kebudayaan Islam tanpa mengamalkan agama Islam, karena asa kebudayaan itu agamalah yang menggariskan. Tanpa menaati agama, kebudayaan Islam tidak mungkin ditegakkan. Dalam kondisi ini, dapat dilihat agama memberikan spirit pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama.( M. Nazori Majid, Agama dan Budaya Lokal (Revitalisasi Adat dan Budaya Lokal di Bumi Langkah Serentak Limbai Seayun (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), hlm. 131). Sehingga agama Islam dan kebudayaan merupakan dua komponen yang meliputi keselamatan dan kesenangan, agama untuk kesenangan dan keselamatan di akhirat yang telah dimulai di dunia. Kebudaayan untuk keselamatan dan kesenangan di dunia yang nilai berlanjut di akhirat.

Implikasi Teori

Konsep agama akan selalu berada di masyarakat, belum ditemukan satu masyarakat tanpa kepercayaan yang mengelaborasi diri menjadi agama. Bahkan ateisme sesungguhnya juga adalah salah bentuk kepercayaan. Adapun masyarakat yang menerima agama sebagai satu bentuk kepercayaan akan menjadikan ini instrumen dalam keseharian. ( Abdul Munir Mulkan, “Dilema Manusia Dengan Diri dan Tuhan” kata pengantar dalam Th. Sumartana (ed.), Pluralis, Konflik, dan Pendidikan Agama Di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)). Bahkan dalam banyak agama besar yang diterima dalam masyarakat Indonesia, identitas lokal tetap mewarnai aktivitas keagamaan. ( Bahtiar Efendi, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan (Jogjakarta, Galang Press, 2001)). Teori ini kemudian didukung melalui hasil penelitian yang menunjukkan bagaimana masyarakat Indonesia yang tidak membedakan antara tradisi lokal dengan perayaan keagamaan Islam yang bernuansa Arab.

Konteks keberagamaan secara feonomenologis, menunjukkan bahwa sejarah agama memberikan nuansa pluralitas tradisi dan variasi dalam berbagai bentuknya. Agama apapun senantiasa memiliki konsepsi yang beragam dan persepsi dalam memandang Tuhan tergantung pada ruang dan waktu yang ditempati. Hidup bersama dan mengupayakan transformasi kehidupan agama ke dalam bentuknya yang nyata disadari sebagai upaya untuk tetap bertahan dan dalam dinamisasi kehidupan. Pertemuan budaya-budaya lokal kedalam Islam justru kemudian memperkaya khazanah Islam. Dapat disaksikan bagaimana kemudian agama itu menyapa manusia dengan menggunakan bantuan medium sejarah dan budaya. Dengan demikian dalam pandangan Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis bahwa terdapatnya pluralisme dalam memahami agama. ( Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Menurut Filsafat Perennial (Jakarta: Paramadina, 1994), hlm. 126).

Agama yang menempati ruang dan waktu kemudian secara realitas menjadikan kebudayaan sebagai tempat berkembang. Agama menginternalisasi dalam kebudayaan pemeluknya. Ini berarti agama menjadi daya dorong bagi kehidupan manusia. Dengan demikian, agama akan berfungsi ganda. Pertama, agama digunakan sebagai pandangan hidup (way of life). Kedua, tidak sebatas urusan kosmos antara Tuhan dengan pemeluk agama, tetapi juga hubungan sesama manusia. Keterkaitan ini dalam konteks operasional kehidupan manusia dalam berbagai bidang sosial, budaya dan ekonomi.( Syafi’i Ma’arif, Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Ummat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1987)). Ini juga dipandang oleh Joachim Wach Smith bahwa ada hubungan antara Islam sebagai keyakinan dan tradisi. ( Joachim Wach Smith, The Comparative Study of Religions (New York: Columbia University Press, 1925), hlm. 27–60). Dimana sulit mencari garis batas antara keduanya. Islam sebagai manifestasi ajaran dan perilaku penganutnya merupakan perpaduan antara ide dan fakta. Sehingga kemudian akan muncul dalam bentuk kehidupan pribadi dan masyarakat secara bersamaan.

Dalam penyebaran agama islam, ada beberapa aspek sehingga corak Islam seperti saat ini dapat dirasakan bersama. Pertama, ajaran Islam yang meliputi aqidah, akhlaq, syariah mudah dimengerti sehingga mudah diterima oleh masyarakat Nusantara pada saat itu. Hal itu yang membedakannya dengan agama lain. Lalu mengenai teori masuknya Islam ke Nusantara, berdasarkan tempat asal muasal dibawanya, terdiri atas teori Arab, teori Cina, teori Persi, teori India, dan teori Turki. Selanjutnya yang terpenting, strategi penyebaran Islam di Nusantara banyak dilakukan melalui jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, pendidikan, dan islamisasi kultural. Proses islamisasi kultural ini banyak melibatkan tokoh-tokoh penyebaran Islam dari golongan para raja dan para ulama.

Proses islamisasi kultural inilah yang merambah kebudayaan salah satunya kesenian. Seni dijadikan sebagai media yang mempunyai peran strategis dalam pelaksanaan dakwah Islam, karena media tersebut memiliki daya kultural sehingga mendapatkan apresiasi dari para pendengar maupun penontonnya. Dalam konteks dakwah dengan menggunakan metode kesenian, salah satunya adalah dengan menggunakan lagu-lagu shalawat.

Kesenian ini merupakan kebudayaan yang memberikan kontribusi dalam ranah dakwah. Sehingga efektivitas salah satu kesenian yang telah dekat dengan masyarakat mampu memberikan nuansa religiusitas dalam setiap individu. Dimaksudkan agar nilai-nilai Islam terpancarkan yang berimplikasi meningkat spiritualitasnya. Dengan memanfaatkan seni tersebut untuk menunjang keberhasilan dakwah di tengah-tengah komunitas tersebut, maka semua masyarakat turut memberikan kontribusinya dalam mencapai tujuan dakwah yang hakiki agar ditransformasikan dalam kehidupan individual maupun sosial.

Sehingga proses itulah yang memunculkan konsep Islam Nusantara. Dalam mengonsep Islam Nusantara, para intelektual islam Indonesia menggunakan delapan pendekatan, yaitu filsafat, budaya, linguistik, filsafat hukum, hukum, historis-antropologis, historisfilologis dan sosiologis-antropologis-historis. Dalam menjelaskan konsep ini, para intelektual muslim memberikan frasa (istilah lain) lagi yang memberikan spesifikasi maknanya. Selain itu, Islam Nusantara juga memosisikan Islam sebagai sistem nilai, teologi, dan fiqih-ubudiyyah yang memengaruhi budaya Indonesia dengan karaktersitik tertentu.

Islam Nusantara berusaha menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan mewujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya, sehingga sudah tidak ada lagi pertentangan antara agama dan budaya.

Abadi, Mashur. 2012. "Islam, Budaya Lokal dan Kedewasaan Berbangsa." Karsa: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman 13, no. 1

Abdullah, taufik dkk. 1998. Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia. Bandung: Mizan

Abdullah, Taufik. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991.

Abdul, Karim. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Pubhlisher.

Abdullah, Amin. 1996. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abdurrahman, Moeslim. 2003. Islam sebagai Kritik Sosial. Jakarta: Erlangga

AG, Muhaimin. 2001 Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon. Jakarta: Logos.

Agus, Bustanuddin. 2007. Islam dan Pembangunan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Ali, Mukti dkk. 2004. Metodologi Penelitian Agama suatu Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya

Al-Baghdady, Abdurrahman. 2008. Engkaulah Rasul Panutan Kami, Jakarta: Insan Press.

Alwasilah, A. Chaedar. 2011. Pokoknya Kualitatif. Cetakan Keenam. Jakarta: Pustaka Jaya.

Al-Qayyim, Ibn. 1980. I’lam al-Muwaqqi’in. Vol. III Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah.

Aripudin, Acep. 2012. Dakwah Antarbudaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

AS, Enjang dan Aliyudin. 2009. Dasar-dasar Ilmu Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran.

Azra, Azyumardi. 2002. Historiografi Islam Kontemporer. Jakarta: Gramedia.

Azra, Azyumardi. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusan tara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan

Bachtiar, Harsya W. “Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian”, dalam Koenjaraningrat (penyunting). Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia, 1986.

Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Shahih al Bukhari, Juz 1, bab Iman, hadis no. 7. CD ROM, al-Maktabah al-Syamilah, Kutub Mutun, Vol. I Global Islamic Software.

Bungin, Burhan. 2006. Metodologi penelitian kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Charmaz, K. 1983. “The Grounded Theory: An Explication and Interpretation”. Dalam R. Emerson (penyunting). Contemporary Field Research. Boston: Little, Brown.

Coward, Harold. 1994. Pluralisme: Tantangan bagi Agama-Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Dahrendorf, Ralf. 1959. Class and Conflict in Industrial Society. Stanford: Stanford University Press.

Daulay, Hamdan. 2001. Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik. Yogyakarta: LESTI.

Efendi, Bahtiar. 2001. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan. Jogjakarta:Galang Press.

Foley, William A. 2001. Anthropological Linguistics: an Introduction. Oxford: Blackwell.

Geertz, Clifford. 1960 Religion of Java. Chicago: Chicago University Press.

Guenon, Rene. East and West. 1995.Terjemahan Martin Lings. London: Luzac and Co, Ltd.

Hasan, Muhammad Tholhah. 2005. Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia. Cet. II. Jakarta: Lantabora Press.

Hasbullah, Moeflich. 2012. Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia.

Hasbullah. 2012 Sejarah Pendidikan Islam Indonesia Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 3. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

Hermanto, Idan. 2010. Pintar Antropologi. Jogjakarta: Tunas Publishing.

Hidayat, Komaruddin dan Wahyuni Nafis. 1994. Agama Masa Depan Menurut Filsafat Perennial. Jakarta: Paramadina.

Hoben, Allan dan Robert Hefner. “The Integrative Revolution Revisited”. Dalam World Development. Volume 19, Nomor 1, hlm. 17–30.

Imam Subqi, “Pola Komunikasi Keagamaan dalam Membentuk

Imarah, Muhammad. Islam dan Pluralitas Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan. Jakarta: Gema Insani Press

Kahmad, Dadang. 2006. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Karim, Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Kasdi, Abdurrahman. 2000. Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi. Kritik Wacana dan Politisasi Agama”. Jurnal Tashwirul Afkar. Lakpesdan NU Jakarta. №3.

Kepribadian Anak”, INJECT (Interdisciplinary Journal of Communication), Vol 1 No 2 Desember 2016.

Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi II Pokok — Pokok Etnografi. Jakarta: Rineka Cipta. Jakarta.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan IX. Jakarta: Rineka Cipta.

Kroef, Justus M. van der. 1951. “The Term Indonesia: Its Origin and Usage”. Journal of the American Oriental Society Vol. 71, no. 3.

Kroeber, A. L. dan C. Kluckhohn. 1952. Culture, a Critical review of Concepts and Definition. Cambridge: Peabody Museum of American Archeology.

Lemhanas. Wawasan Nusantara. 1995. Jakarta: Penerbit Ismujati. de Beaugrande, R.A. & Dressler. 1986. W.U.. Introduction to Text Linguistics. Harlow-Essex: Longman Group Limited.

Luthfi, Khabibi Muhammad. 2016. “Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal.” SHAHIH: Journal of Islamicate Multidisciplinary 1, no. 1

Ma’arif, Syafi’i. 1987. Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Ummat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Majid, M. Nazori. 2009. Agama dan Budaya Lokal (Revitalisasi Adat dan Budaya Lokal di Bumi Langkah Serentak Limbai Seayun). Jakarta: Gaung Persada Press.

Moleong, Lexy. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Muhadjir, Noeng. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Muhaya, Abdul. 2003. Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad Al-Gazali. Yogyakarta: Gama Media.

Mulkan, Abdul Munir. 2001"Dilema Manusia Dengan Diri dan Tuhan” kata pengantar dalam Th. Sumartana (ed.), Pluralis, Konflik, dan Pendidikan Agama Di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Murata, Sachiko. 2004. The Tao of Islam. Terjemahan Rahmani Astuti dan M. S. Nashrullah. Jakarta: Mizan.

Paloutzian, Raymond F. 1996. Psychology of Religion. Massachusetts: Allyn & Bacon

Poesponegoro, Marwati Djoened dkk. 1984. Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: Balai Pustaka,

Qomar, Mujamil. 2016. “Islam Nusantara: Sebuah Alternatif Model Pemikiran, Pemahaman, dan Pengamalan Islam.” El-HARAKAH (TERAKREDITASI) 17, no. 2.

Rogers, Everett M. 2003 Diffusion of Innovation. Edisi Kelima. New York: Free Press.

Sahed, Nur, dan Musari Musari. 2016. “The Discourse of Islamic Education Development Based on Islam Nusantara Concept in IAIN Salatiga.” Jurnal Pendidikan Islam 5, no. 1

Smith, Joachim Wach. 1925. The Comparative Study of Religions. New York: Columbia University Press.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Sulthon, Muhammad. 2003. Desain Ilmu Dakwah Kajian Ontologis, Epistimologis dan Aksiologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sunanto, Musyrifah. 2012Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sunyoto, Agus. , 2012. Atlas Wali Songo. Depok: Pustaka Ilman.

Suparjo, Suparjo. 2008. “Islam dan Budaya: Strategi Kultural Walisongo dalam Memb angun Masyarakat Muslim Indonesia.” KOMUNIKA 2, no. 2

Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Susanto, Edi, dan Karimullah Karimullah. 2017. “Islam Nusantara: Islam Khas dan Akomodatif terhadap Budaya Lokal.” Al-Ulum 16, no. 1 Wahid Abdurrahman, dkk. 2016. Islam Nusantara. Bandung: Mizan

www.nu.or.id/post/read/58077/ini-tema-muktamar-nu-ke-33-di-jombang, diakses Kamis, 31/03/2016, 13.23 WIB.

www.nu.or.id/post/read/58791/gali-konsep-islam-nusantara-stainu-jakarta-adakan-fgdberkala-dan-tematik, diakses Kamis 31/03/2015, 08.47. WIB.

www.nu.or.id/post/read/58821/teks-dan-karakter-islam-nusantara, diakses Rabu, 30/03/2016, 08.20 WIB www.nu.or.id/post/read/59035/apa-yang-dimaksud-dengan-islam-nusantara, diakses Kamis, 29/03/2016, 12.39 WIB.

www.nu.or.id/post/read/59081/saatnya-islam-nusantara-diekspor, diakses kamis 31/03/2016, 08.42. WIB.

www.nu.or.id/post/read/59286/parade-budaya-dan-seni-nusantara-warnai-dies-natalis-ke13-stainu-jakarta, diakses Kamis, 31/03/2016, 09.15 WIB.

www.nu.or.id/post/read/59442/milal-bizawie-karakter-islam-nusantara-tidak-homogen, diakses Kamis, 31/03/2016, 09.15 WIB. www.nu.or.id/post/read/59849/rais-aam-pbnu-islam-nusantara-solusi-peradaban-dunia, diakses Selasa, 31/03/2016, 08.51 WIB. www.nu.or.id/post/read/59849/rais-aam-pbnu-islam-nusantara-solusi-peradaban-dunia, diakses Selasa, 31/03/2016, 08.51 WIB.

www.nu.or.id/post/read/60392/islam-nu-dan-nusantara, diakses Kamis, 31/03/2016, 09.59 WIB.

www.nu.or.id/post/read/60458/maksud-istilah-islam-nusantara, diakses Kamis, 31/03/2016, 09.24 WIB.

Wahjoetomo. 1979. Pendidikan Alternatif Masa Depan. Jakarta: Gema Insani Press.

Zuhaili, Muhammad. 2002. Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini. Jakarta: AH. Ba’adillah Press.

Originally published at http://gooroe.com.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Gama Syahid
Gama Syahid

Written by Gama Syahid

Stay inquisitive. — Discovering universe through reading, thinking, expertising engineering, and writing.

No responses yet